SELAMAT DATANG di BLOG LUKMAN CENTER 89

SETIA HINGGA AKHIR DALAM KEYAKINAN

Minggu, 04 Maret 2012

Melawan Arus


SEBUAH catatan manis sedang ditorehkan Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) dalam pusaran sejarah perjalanan Republik Indonesia. Langkah yang ditempuh untuk memperoleh hak-haknya yang lebih besar dari Dana Bagi Hasil (DBH) Migas melalui jalur Mahkamah Konstitusi dengan mengajukan permohonan Judicial Review terhadap UU 33/2004 Pasal 14 (e dan f) sungguh elegan dan bermartabat. Menunjukkan prilaku yang dewasa, bijaksana dan sangat maju (modern) di tengah berbagai aksi bar-bar di sejumlah daerah lainnya dalam menuntut hak-haknya di tingkat lokal.
Ini merupakan sinyalemen betapa cintanya masyarakat Kalimantan Timur terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan menempuh cara-cara damai dan konstitusional dalam menuntut haknya yang selama ini  cenderung hanya dieksploitasi pemerintah pusat tanpa mau melihat lebih dalam betapa hati masyarakat Kalimantan Timur terluka karenanya. Semua sumber daya alamnya dieksploitasi setiap detik, disedot dari perut buminya, dikeruk dan dibabat dari permukaannya, tanpa ada imbalan yang pantas dan layak meski hanya untuk sekedar menikmati jalanan yang mulus seperti di Pulau Jawa. Sesuatu yang sesungguhnya sangat murah harganya, jika dibandingkan dengan kekayaan yang diambil atas nama pemerintah pusat melalui peraturan yang dibuat berdasarkan kepentingan politik sesaat rezim penguasa tanpa mencoba melihat lebih jauh implikasinya ke daerah penghasil.
Rakyat Kalimantan Timur bukanlah orang-orang penakut, bukan orang pengecut, mereka orang-orang pemberani dan bermartabat. Sejarah mencatat dengan manis perjuangan rakyat Sanga-Sanga dalam melawan penjajah, mereka berani melawan arus. Jadi diamnya rakyat Kalimantan Timur selama ini bukanlah karena rasa takut kepada pemerintah pusat yang selalu silih berganti mengikuti hasil pemilu, namun lebih kepada kecintaannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Para pengambil kebijakan mestinya banyak mencermati dan mengambil hikmah dari  pergolakan di daerah-daerah sebelum dan pasca kemerdekan tahun 1945. Pergolakan di daerah-daerah sesungguhnya bersumber dari  ketidakpuasan terhadap perlakuan penjajah yang sewenang-wenang dan eksploitatif. Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Diponegoro, Pattimura adalah sedikit dari ratusan nama yang bergerak melawan penjajah dari daerah sebelum menasional untuk menuntut kemerdekaan. Pasca kemerdekaan bukannya hilang pergolakan itu, ketidakpuasan daerah kembali muncul setelah pemerintah pusat tidak ubahnya penjajahan terdahulu yang hanya mengeksploitasi daerah-daerah. Di barisan ini ada PRRI di Sumatera, PERMESTA di Sulawesi, Darul Islam dan  dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, dan DI/TII di Jawa Barat. Bahkan hingga kini masih ada Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang selalu mengusik ketenangan pemerintah pusat.
Dalam waktu tidak lama lagi, arah perjalanan sejarah Bangsa Indonesia kembali akan mengalami guncangan dan pembelokan seiring langkah MRKTB di Mahkamah Konstitusi. Apapun keputusan Mahkamah Konstitusi akan memberikan dampak langsung kepada Kalimantan Timur yang mencoba melawan arus. Selamat Berjuang Bung!!!. (foto : Bersama H.Sarapping (duduk tengah), tokoh masyarakat Kaltim, pengusaha perkapalan dan perkebunan sawit yang mendukung perjuangan MRKTB di Mahkamah Konstitusi. Yang lain adalah Ir.Rudi Djaelani (Sekretaris MRKTB), Drs.Abdul Rivai AG (Ketua Tim Ad Hoc) dan Ir.Supriadi,M.Si (Wakil Ketua MRKTB)

Mengurai Kemacetan


MACET, macet, macet…..
Itulah pemandangan keseharian Kota Samarinda saat ini, volume kendaraan bertambah terus sementara badan jalan terutama di dalam kota tidak lagi bertambah. Belum lagi kendaraan yang parkir di pinggir jalan semakin mempersempit akses lalu lintas yang pada gilirannya membuat kemacetan. Jangan heran kemudian ketika melihat pengendara motor melewati trotoar yang mestinya menjadi hak pejalan kaki terpaksa harus “dicaploknya” sejenak sekedar untuk menghindari kemacetan.
Macet, macet., macet….
Ternyata penyebabnya tidak hanya berhenti sampai di situ, penyebab kemacetan masih ada yang lain yaitu jalanan yang rusak atau berlubang di mana-mana. Jika kita berjalan mengelilingi Kota Samarinda saat ini, sudah sulit untuk menemukan ruas jalan mulus tanpa lubang ataupun hanya sekedar keriting, belum lagi bekas galian PDAM yang tidak sempurna penimbunannya setelah digali untuk pemasangan pipa. Semua ini menjadi penyebab kemacetan di dalam kota.
Macet, macet, macet…
Jika di dalam kota jalanan “hanya dihiasi” dengan lubang maka di pinggiran kota “didandani” dengan jalanan rusak. Kalau warga kemudian memindahkan “kebun” pisangnya ke tengah jalan, bukan karena lahan kebunnya sudah tergerus tambang batubara semua atau sudah penuh ditanami. Seperti yang tertangkap kamera wartawan saat melintas di Jalan Sentosa beberap hari lalu, namun itu sekedar aksi protes yang dilakukan oleh warga atas kondisi jalan yang sudah sebegitu parah kerusakannya. Mungkin masyarakat sudah bosan membicarakannya sehingga memilih aksi diam, lalu menanam pohon pisang di tengah jalan sambil menagih janji pemerintah saat kampanye lewat tulisan yang digantung pada pohon pisangnya. Kalau sudah begini  jangan salahkan masyarakat ketika memiliki sikap apatis terhadap pesta-pesta demokrasi yang berlangsung. Jangan salahkan mereka ketika memiliki sikap pragmatis saat berlangsung pemilihan gubernur, walikota ataupun legislatif. Kalau sudah begini, kapan kemacetan terurai? Dan bagaimana mau mengurai kemacetan jika biaya politik yang dikeluarkan untuk menduduki jabatan eksekutif atau legislatif sangat mahal?.
Untuk mengurai kemacetan di Kota Samarinda, mulailah dari diri sendiri untuk tidak membebani kandidat apapun itu baik eksekutif maupun legislatif dengan permohonan bantuan ini dan itu saat mencalonkan diri, agar ketika terpilih mereka bisa membelanjakan uang APBD untuk membangun jalan yang baik, berkualitas, tahan lama, bukan seperti sekarang hanya tersapu banjir akibat hujan satu jam sudah terkelupas aspal atau semennya, berlubang lagi, macet lagi, menunggu lagi tahun berikutnya dianggarkan begitu seterusnya. Siapa yang rugi? Yah, kita masyarakat biasa pengguna jalan yang tidak “kecipratan” jika jalanan itu rusak ataupun berlubang …eksekutif? Legislatif? Hehehehe….