SELAMAT DATANG di BLOG LUKMAN CENTER 89

SETIA HINGGA AKHIR DALAM KEYAKINAN

Selasa, 23 Agustus 2011

MENCARI PRSIDEN INDONESIA PASCA SBY

Pengantar
SEJARAH mencatat seorang Kaisar Negara Macedonia bernama Alexander yang agung (356 SM-323 SM) mampu membangun salah satu kekaisaran terbesar di dunia.
Alexander yang agung adalah murid dari Aristoteles, seorang filusuf berkembangsaan Yunani (384SM-322SM), Aristoteles sendiri adalah murid dari Plato seorang filusuf Yunani yang termashur itu. Plato dan Aristoteles, keduanya bersepakat bahwa sebuah Negara ada dan  terbentuk bukan bertujuan untuk Negara itu sendiri. Negara ada untuk manusia yang menjadi warganya secara keseluruhan tanpa terkecuali.
Sebagai bentuk persekutuan hidup politis, Negara adalah bentuk yang paling tinggi sebab merupakan perkembangan terakhir persekutuan hidup manusia, karenanya Aristoteles menegaskan Negara semestinya memiliki tujuan tertinggi, paling mulia, dan terluhur dibandingkan dengan persekutuan hidup lainnya. Konsekwensinya Negara haruslah senantiasa mengupayakan kebaikan tertinggi, kebaikan semaksimal mungkin bagi warganya. Namun kenyataannya banyak Negara gagal mewujudkan tujuan tersebut, tujuan ideal yaitu memanusiakan manusia  dikarenakan pemimpinnya. Salah satunya Indonesia saat ini.  

 Identifikasi Persoalan
Para tokoh pendiri Negara ini secara tegas meletakkan cita-cita Negara Indonesia di dalam pembukaan UUD 1945 sebagai dasar berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Sebuah cita-cita yang sangat mulia dan sejalan dengan apa yang digariskan Plato dan Aristoteles ribuan tahun lampau. Namun sejak berdirinya Negara ini yang sudah 66 tahun lamanya, tujuan tersebut belum juga tercapai, yang terjadi justru semakin terasa semakin jauh. Meskipun telah terjadi pergantian presiden sebanyak enam kali, mulai dari Soekarno, Soeharto, B.J Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat sejak tahun 2004-2009 untuk priode pertama dan 2009 hingga 20014 mendatang untuk priode ke dua, tanda-tanda itu belum terlihat. Kesempatan untuk mendapatkan lapangan kerja yang memadai saja masih sangat sulit sehingga jutaan warga Negara Indonesia harus rela menggadaikan harga dirinya di negeri orang demi sesuap nasi dengan menjadi pembantu rumah tangga. Langkanya lapangan kerja memicu terjadinya peningkatan jumlah pengangguran dari tahun-ketahun sehingga angka kemiskinanpun terus meningkat. (Kalaupun kemudian terjadi penurunan, kemiskinan itu hanya menurun ke generasi berikutnya ).  
Selain kemiskinan, beberapa persoalan yang justru sebenarnya menjadi penyebab kemiskinan itu secara tidak langsung antara lain :
1.    Penyebaran penduduk yang tidak merata sehingga masih banyak faktor-faktor produksi yang tidak dikelola secara maksimal terutama yang berkaitan dengan lahan pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan kelautan yang nota bene merupakan tipikal Negara Indonesia yang agraris dan maritim.
Betapa sulit diterima akal sehat, bagaimana mungkin sebuah Negara yang agraris masih selalu mengimpor beras, jagung ataupun kedelai dari luar negeri yang menjadi kebutuhan pokok di dalam negeri. Belum lagi komuditas lainnya seperti gula, bahkan garampun masih kita impor. Sungguh suatu kenyataan yang sangat ironis. Di satu sisi, lahan potensial di dalam negeri bertebaran, tapi kenyataannya jutaan rakyat Indonesia merantau ke luar negeri hanya untuk menjadi buruh di perkebunan sawit di negera tetangga. Padahal faktanya, tanah tempat mereka menanam kelapa sawit tidak ada bedanya dengan tanah di Negara ini karena masih berada di satu pulau yang sama, yaitu Pulau Kalimantan.
Saat ini, berdasarkan hasil survey Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) tahun 2010 lalu jumlah pulau di Indonesia 13.000 buah. Yang memiliki nama baru sekitar 7.870 buah. Sempat terpublikasi bahwa jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.504 buah (2004). Namun terkait tulisan ini, bahwa dari sekian banyak jumlah pulau tersebut masih sekitar 6.000 pulau belum berpenghuni tetap.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2009 Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 231 juta jiwa sehingga saat ini diperkirakan mencapai 240 juta jiwa di mana sekitar 65 persen di antaranya berada di Pulau Jawa. Bandingkan luas Pulau Jawa ditambah Pulau Madura satu kali setengah baru sama dengan luas Kalimantan Timur yang berpenduduk hanya sekitar 3 juta jiwa.
Penyebaran penduduk ke seluruh wilayah Indonesia lewat program transmigrasi akan mengurai kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan akan berimplikasi pada pembukaan wilayah baru yang mendorong bergeraknya sektor perekonomian. Selain itu, penyebaran penduduk di setiap wilayah terutama pulau-pulau tidak berpenghuni juga akan meningkatkan ketahanan nasional.
2.    Kasus penjarahan uang Negara yang dilakukan oleh para pejabat Negara yang menjadi pilar berdirinya Negara Republik Indonesia (Eksekutif, legislative, dan Yudikatif) dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya di sektor usaha baik secara langsung ataupun tidak langsung  sebagai efek dari  lemahnya penegakan hukum masih tinggi dan masih terus terjadi, bahkan malah semakin menjadi-jadi dalam beberapa tahun terakhir.
Tidak bisa dipungkiri, korupsi telah menjadi penyebab bencana kemiskinan yang sangat mengerikan di Negara ini. Sejumlah kasus besar sejak zaman orde baru hingga saat ini terus terjadi dan tidak satupun yang tuntas. Mulai dari pembobolan Bapindo oleh Edy Tanzil senilai Rp 1,3 Triliun yang kabur dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang (1995) hingga Bank Century yang diperkirakan merugikan keuangan Negara sekitar Rp2,8 Triliun (2009). Angka ini masih simpang siur karena vesri BPK Rp5,06 Triliun dan versi Menteri Keuangan Rp 6,5 Triliun.
Entah berapa triliun uang rakyat telah dilarikan para koruptor, baik di sembunyikan di dalam negeri maupun dibawa kabur ke luar negeri. Dari catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2001 hingga saat ini, ada 45 orang pelaku kejahatan korupsi melarikan diri ke luar negeri, sekitar 36 orang merupakan pelaku kejahatan korupsi di sektor perbankan.
3.    Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung menyebabkan pemborosan uang Negara yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip penyelenggaran negara yang efisien dan efektif. Pola pemilihan kepala daerah semacam ini, selain memboroskan banyak uang Negara, juga berpotensi besar menciptakan konflik horizontal di tengah masyarakat yang miskin, masyarakat yang mudah terprovokasi untuk berbuat anarkis yang justru kerugiannya sulit untuk dihitung secara nominal.
Oleh karena itu, penting kiranya untuk mengkaji ulang apakah atas nama demokrasi dengan menerapkan pola pemilihan secara langsung dalam pemilihan kepala daerah yang dianut sekarang  sudah sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini dan apakah pemilihan kepala daerah secara langsung saat ini tidak bertentangan dengan Panca Sila sebagai dasar Negara terutama sila ke 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Sesungguhnya masih banyak persoalan yang menjadi kendala sehingga sulit untuk mewujudkan sebuah Negara yang bisa memberikan kehidupan sebagaimana yang dipikirkan oleh para pendiri Negara ini, termasuk juga apa yang digambarkan oleh Plato dan Aristoteles. Namun, paling tidak tiga poin yang disebutkan di atas bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan perbaikan nasib bangsa ke depan.
Hal lain yang bisa dan sudah seharusnya bisa dilakukan dalam rangka memperbaiki kondisi bangsa adalah melalui perbaikan persyaratan pengajuan para calon anggota legislative oleh partai politik di semua tingkatan. Di semua tingkatan sudah semestinya calon legislator itu minimal berpendidikan Strata 1 (S1), bahkan untuk tingkat DPR RI sudah semestinya para calon legislator itu sudah harus bergelar Strata 2 (S2)  mengingat tugas dan tanggung jawab mereka kelak akan sangat vital karena akan menjalankan beberapa fugsi yaitu (pertama) legislasi atau membuat undang-undang, (kedua) fungsi pengawasan, dan (ketiga) fungsi anggaran untuk skala nasional.
Dalam hal menjalankan fungsi pertama (legislasi) atau membuat undang-undang, DPR/DPRD secara bersama dengan eksekutif sesuai tingkatannya masing-masing akan membuat rancangan undang-undang tentang suatu objek, di dalam proses pembuatan rancangan dan penetapan inilah terjadi tarik ulur kepentingan. Tanpa dibekali dengan pengetahuan yang baik berdasarkan disiplin ilmu, sulit kemudian para anggota legislative itu beradu argumentasi dengan tim eksekutif yang memiliki latar belakang pengalaman bertahun-tahun dan pengetahuan yang rata-rata menyandang gelar S1, bahkan saat ini banyak telah menyandang gelar S2.
Terkait fungsi pengawasan, fungsi pengawasan hanya akan berjalan efektif manakala minimal ada keseimbangan antara kemampuan sumber daya manusia antara eksekutif dan legislatif. Bahkan jika ingin bisa berjalan lebih maksimal fungsi pengawasan ini, selayaknya para legislator memiliki kemampuan lebih baik dari para eksekutif yang menjalankan undang-undang yang telah dibuat dan disepakati bersama.
Maka kembali lagi kepada fungsi pertama tadi, jika dalam proses pembuatan undang-undang tersebut sudah lebih didominasi oleh eksekutif sebagai akibat kapasitas keilmuannya lebih baik dari anggota legislative maka dalam menjalankan fungsi pengawasanpun tidak akan bisa  banyak diharapkan untuk dapat berjalan maksimal. Karena sudah besar pasak dari pada tiang.
Begitu juga dengan fungsi penganggaran, sebagai urat nadi pembangunan, sektor anggaran adalah yang paling menentukan jalannya roda pembangunan. Dominasi eksekutif dalam menyusun anggaran pembangunan sudah pasti terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan intelektual dan kapasitas. Akhirnya, apa yang kita rasakan saat ini setelah hampir 66 tahun merdeka tidak lepas dari konspirasi politik di zaman orde baru yang berusaha melanggengkan kekuasaan dengan melakukan pelemahan-pelemahan kekuatan politik di lingkungan legislative.
Karenanya, dengan dasar semangat dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur maka sudah seharusnya partai politik yang melahirkan para legislator meletakkan dasar-dasar perekrutan calon-calon anggota legislative yang terdidik secara akademik. Jenjang pendidikan dan profesi para calon legislator yang diajukan hendaknya menjadi penilaian utama selain pengalaman organisasi tentunya.
Sebagai ilustrasi bagaimana masyarakat menilai fungsi legislative (DPR) selama ini berikut ini adalah hasil survey CIDES
uraian
Persentase
Sangat Berfungsi
1,4 %
Berfungsi
39,%
Tidak Berfungsi
43,2 %
Sangat Tidak Berfungsi
1,4 %
Tidak Berpendapat
10,8 %
Tidak Tahu
2,9 %
Tidak Menjawab
0,7 %
      Sumber : Hasil penelitian CIDES, dalam Dinamika Kedaulatan Rakyat, Dilema-Dilema Dalam Pemilu, Sistem Kepartaian dan Lembaga Perwakilan. Hal 44. (A.M Fatwa 2004)
Hasil penelitian ini memberikan satu gambaran bahwa rakyat  menganggap wakil-wakil mereka yang duduk di parlemen sebagai anggota legislative yang merupakan kepanjangan tangan dan penyambung lidah mereka atas kepentingannya tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Meraka dipilih oleh rakyat dan berbicara atas nama rakyat namun tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Seberapa banyak hasil masukan dari rakyat yang dibawa dari pertemuan dengan mereka secara langsung saat reses yang bisa diperjuangkan dan digolkan di dewan? Pada hal itu adalah murni aspirasi rakyat yang disuarakan berdasarkan kebutuhan daerah masing-masing.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang menyebabkan sehingga para legislator itu tidak bisa menjalankan fungsinya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya dengan baik sehingga mendapat penilaian tidak sedap dari masyarakat? Belum ada referensi sebagai hasil penelitian yang saya temukan terkait hal itu. Namun dalam kapasitas sebagai masyarakat pemilih dan sebagai pendapat pribadi bahwa penilaian itu timbul disebabkan beberapa hal antara lain ; 
1.    Kecakapan Berbicara
Seorang anggota parlemen haruslah memiliki kecakapan dalam berbicara. Hal ini adalah tuntutan mengingat secara harfiah kata parlemen itu berasal dari bahasa Prancis Parler yang berarti bicara. Jangan lupa trias politika (eksekutif, legislatif, dan Yudikatif) itu rancangan Montesque berkembangsaan Prancis.
Ketidak mampuan anggota parlemen/legislatif dalam menyampaikan pendapat dan tentu saja dalam menyampaikan usulan tentang kebutuhan rakyat pemilihnya akan menyebabkan kegagalan mewujudkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Hal ini kemudian akan berimplikasi pada menurunnya kepercayaan rakyat kepada para anggota legislative di saat hari pemilihan berikutnya, sehingga sulit kemudian mengharapakan tingkat partisipasi masyarakat pemilih menjadi tinggi dalam pemilihan apapun itu. Baik anggota legislative maupun kepala daerah termasuk pemilihan kepala Negara sekalipun. Mereka memilih tidak menggunakan hak pilihnya sebagai bentuk kekecewaan atas tidak terakomodirnya kepentingan mereka selama ini dalam hal pembangunan di wilayahnya.

2.    Intelektual
Cakap berbicara saja belumlah cukup bagi seorang anggota legislative, dia harus didukung oleh kemampuan intelektual. Karena berbicara juga jika tidak didukung oleh data-data ilmiah tetap akan menuai kendala karena akan berhadapan berbagai kepentingan terutama dari pihak eksekutive yang memiliki  data dan didukung oleh kemampuan berbicara selain memiliki pengalaman.
Kemampuan mengolah data dan menterjemahkannya hingga tingkat teknis pada forum terbuka untuk meyakinkan anggota lain ataupun eksekutif hanya bisa dilakukan jika memiliki kapasitas keilmuan yang baik. Jika tidak bisa melakukan itu, maka sebaik dan seakurat apapun data yang didapatkan dari lapangan melalui kegiatan reses tidak akan membuahkan hasil apa-apa untuk dikembalikan ke rakyat pemilihnya.
Oleh karena itu, meskipun ini kelihatannya sangat berat untuk diterapkan oleh partai politik karena tuntutan pengembangan partai, namun jika didukung oleh itikad yang baik oleh semua partai politik dan tentu saja pemerintah yang berkuasa sebagai tanggung jawab dalam rangka meneruskan cita-cita perjuangan para pendiri Negara ini tentu bukanlah sebuah kemustahilan untuk diterapakan. 
Bila diperhatikan tingkat pendidikan anggota Parlemen (DPR RI)  sejak pemilu 1971 hingga 1999 terjadi peningkatan, sebagaimana tersaji di table bawah ini.

Pemilu



1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
Tingkat Pendidikan
SD
SMP
SMA
SARJANA MUDA
S1
S2
S3
L
P
L
P
L
P
L
P
L
P
L
P
L
P
8
3
54
6
116
11
59
4
177
9
3



16
4
44
5
111
12
54
2
145
14
3



10

32
2
140
13
35
7
149
19
2





35
4
159
17
39
10
202
26
7
1




10

52
5
118
7
222
45
23
3
12
3


3

66
4
68
4
284
37
46
12
14



2

71
8
42

251
30
57
5
32
2
Sumber : Bagian keanggotaanDPR jo Hasil Penelitian Pelayanan Riset di bidang lgislatif yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, tahu 2002,hal.40.

3.    Moral
Inilah landasan paling mendasar yang harus dimiliki oleh seorang anggota legislator. Meskipun ini kelihatannya sangat normative  dan barometernya sangat sulit untuk ditentukan namun sangatlah penting untuk menjadi perhatian para pimpinan partai politik dalam menempatkan calon-calon legislatornya.

Sebagai salah satu instrumen dalam pembangunan Negara, partai politik memiliki peranan dan tanggung jawab yang sangat besar dan vital untuk menjaga kelangsungan Negara. Oleh karena itu, penempatan wakil-wakil partai di parlemen tidak bisa tanpa melalui seleksi di internal partai dari segi moralitas. Keberadaan mereka di kursi yang terhormat itu atas nama wakil rakyat bagaikan sebuah pisau bermata dua bagi partai itu sendiri. Bisa membesarkan partai baik secara langsung maupun tidak langsung dengan aktualisasi diri yang berintegritas. Namun, juga bisa menjadi malapetaka bagi partai itu sendiri sebagai akibat tindakan amoral mereka. Dan hal ini sudah banyak terjadi dan dihujat masyarakat habisan-habisan. Kasus-kasus korupsi berjama’ah dan kasus perselingkuhan sudah berulang kali terjadi di lingkungan para legislator.  
 
Presiden Pasca SBY
Melihat kondisi Indonesia terkini dan belajar dari sejarah panjang pergulatan terbentuknya Indonesia yang dimulai dari kerajaan-kerajaan sesungguhnya Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki kompleksitas kemampuan. Hal pertama adalah, seorang pemimpin yang mau belajar dan bisa mengambil hikmah dari sejarah pergolakan sebelum dan sesudah perang kemerdekaan. Bagaimana kerajaan-kerajaan di nusantara dengan suka rela menyerahkan kedaulatan mereka ke tangan Republik Indonesia tanpa melalui peperangan untuk penaklukan. Bagaimana pemberontakan-pemberontakan yang terjadi kemudian pasca kemerdekaan seperti PRRI/PERMESTA, DI/TII di era tahun 50-an hingga awal-awal 60-an karena ketidakpuasan daerah terhadap pemerataan pembangunan oleh pemerintah pusat.
Seorang presiden Indonesia ke depan harus memiliki kemampuan keilmuan yang bisa membaca potensi dari dalam negeri sampai peluang yang bisa dibuka di luar negeri dalam rangka pembangunan sosial ekonomi di dalam negeri. Seorang pemimpin Indonesia ke depan harus bisa menjaga dan menghemat sumber daya alam Indonesia dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Penguasaan terhadap sumber-sumber vital perekonomian dalam negeri seperti sumber energi dan telekomunikasi dalam rangka stabilitas dan keamanan dalam negeri.
Seorang pemimpin Indonesia harus memiliki kemampuan diplomasi dengan negara-negara lain di dunia sehingga sedapat mungkin menempatkan Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang diperhitungkan dalam percaturan politik internasional. Potensi sumber daya manusia dan wilayah Indonesia yang strategis adalah modal dasar untuk meraih posisi itu.  Sejarah mencatat bagaimana kemampuan diplomasi presiden Seokarno di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berani keluar dari organisasi dunia itu di tengah berkecamuknya perang dingin antara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang dikomandani Amerika Serikat dengan Pakta Warsawa yang dikomandani Uni Sovyet. Sejarah juga mencatat bagaimana kemampuan diplomasi Seokarno yang bisa mendirikan gerakan Negara-negara non blok bersama India, Mesir, Yugoslavia, Indonesia yang kemudian diikuti oleh ratusan Negara.
Pasca pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seorang presiden Indonesia bukan hanya perperan sebagai kepala pemerintahan, bukan hanya sebagai top menajemen eksekutif, dia harus bisa memposisikan dirinya sebagai pemimpin bagi sekitar 240 juta jiwa rakyat Indonesia. Oleh karena itu, seorang pemimpin pasca SBY haruslah memiliki sifat-sifat  kekeluargaan, Panca Sila sebagai dasar Negara jika diperas sarinya dari lima sila itu, maka hanya akan tinggal tiga sila, Ketuhanan, gotong royong, permusyawaratan dan jika tiga sila itu diperas lagi maka inti sarainya hanya akan tinggal satu kata yaitu, kekeluargaan.
Pemimpin yang menempatkan rakyatnya sebagai satu keluarga besar dengan cara pandang keluarga dan menempatkan mereka dalam bingkai kekeluargaan tidak akan berbuat dholim kepada mereka. Yang ada justru sikap mengayomi, welas asih, dan melindungi.
Seorang presiden Indonesia ke depan harus memiliki sifat berani dan tegas, dalam bertindak atas dasar kepentingan rakyat banyak, atas dasar kepentingan keluarga besarnya, jujur, menempatkan kepentingan rakyat banyak di atas kepentingan pribadi, di atas kepentingan keluarga kecilnya, kelompok, golongan, ataupun partainya.
Seorang presiden Indonesia ke depan harus menjunjung tinggi hukum.  Menempatkan hukum sebagai panglima tertinggi dalam kepemimpinannya dan tidak menginterpensi proses hukum. (bersambung)
MANIFESTO  PERJUANGAN   PARTAI  GERAKAN  INDONESIA  RAYA  
  
  


Mukadimah...............................................................................3
Jati Diri Partai GERINDRA.......................................................6
Visi dan Misi Partai GERINDRA...............................................7
Prinsip Dasar Partai GERINDRA..............................................8
 1. Prinsip Disiplin......................................................................8
2. Prinsip Kedaulatan.................................................................8
3. Prinsip Kemandirian...............................................................9
4. Prinsip Persamaan Hak..........................................................9
5. Prinsip Kerjasama dan Gotong Royong....................................9
6. Prinsip Musyawarah.............................................................10
Pokok-pokok Perjuangan Partai GERINDRA............................10

1. Bidang Politik.......................................................................11
2. Bidang Ekonomi...................................................................14
3. Bidang Kesejahteraan Rakyat...............................................21
4. Bidang Pertanian, Perikanan dan Kelautan.............................24
5. Bidang LIngkungan Hidup dan Kehutanan.............................26
6. Bidang Sosial, Budaya, dan Pendidikan..................................29
7. Bidang Hukum.....................................................................32
8. Bidang Hak Asasi Manusia...................................................34
9. Bidang Pertahanan dan Keamanan........................................36
10. Bidang Otonomi Daerah......................................................38
11. Bidang Agama....................................................................40
12. Bidang Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional.........41
13. Bidang Hak-Hak Perempuan...............................................44
14. Bidang Pemuda...................................................................45
15. Bidang Perburuhan..............................................................47
16. Bidang Riset dan Teknologi..................................................48
Penutup...................................................................................50

Mukadimah
  
Bahwa  cita‐cita  luhur  untuk  membangun  dan  mewujudkan  tatanan  masyarakat  Indonesia  yang  merdeka,  berdaulat,  bersatu,  demokratis,  adil  dan  makmur  serta  beradab  dan  berketuhanan  yang  berlandaskan  Pancasila,  sebagaimana  termaktub  di  dalam  Pembukaan  Undang‐Undang  Dasar  (UUD)  1945,  merupakan  tujuan  bersama  dari  seluruh  rakyat  Indonesia.  
  
Cita‐cita  kemerdekaan  tersebut  hanya  dapat  dicapai  dengan  mempertahankan  persatuan  dan  kesatuan  bangsa,  serta  membangun  segala  kehidupan  secara  seimbang  lahir  dan  batin  dengan  landasan  Pancasila.  
  
Selanjutnya  kehidupan  bangsa  yang  lebih  maju,  modern,  dan  mandiri  menuntut  pembaruan  terus‐menerus  melalui  usaha‐usaha  yang  disesuaikan  dengan  kemajuan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi,  serta  tuntutan  zaman  dengan  tetap  memelihara  nilai‐nilai  luhur  dan  kepribadian  bangsa  Indonesia.  
  
Dalam  menghadapi  perkembangan  zaman  dan  globalisasi,  identitas  dan  jatidiri  bangsa  tetap  menjadi  fondasi  utama  untuk  memperjuangkan  kepentingan  nasional  dan  tatanan  baru.  Terjadinya  penyelewengan  terhadap  cita‐cita  Proklamasi  17  Agustus  1945  dan  UUD  1945  di  berbagai  bidang  perlu  dikoreksi.  Haluan  baru  dan  tatanan  baru  bagi  kehidupan  bangsa  dan  Negara  Republik  Indonesia  harus  dilandaskan  pada  kemurnian  pelaksanaan  ancasila  dan  UUD  1945.  Hakikat  tatanan  baru  adalah  sikap  mental  yang  menuntut  pembaharuan  dan  pembangunan  yang  terus‐menerus  dalam  rangka  melaksanakan  Pancasila  dan  UUD  1945.   
  
Sejak  Proklamasi  kemerdekaan,  bangsa  Indonesia  masih  bergulat  memerangi  kemiskinan  dan  kemelaratan  serta  berjuang  untuk  tegaknya  keadilan.  Sistem  politik  dan  ekonomi  tidak  mampu  menutup  kesenjangan  antara  kaum  miskin  dan  kaum  kaya,  yang  akhirnya  menciptakan  jurang  ketidakadilan.  Ketika  kondisi  mayoritas  rakyat  berkubang  dalam  penderitaan,  sistem  politik  kita  tak  kunjung  mampu  merumuskan  dan  melaksanakan  kebijakan  politik,  sosial,  dan  ekonomi  untuk  mengangkat  harkat  dan  martabat  rakyat  Indonesia.  Sistem  politik  kita  tidak  mampu  membangun  kepemimpinan  nasional  yang  kuat,  yang  dapat  mengantarkan  rakyat  Indonesia  ke  gerbang  kemakmuran  yang  berkeadilan.  
  
Pada  sisi  lain,  sejak  era  reformasi,  sistem  perekonomian  kita  semakin  liberal  dan  kapitalistik.  Sistem  ekonomi  kerakyatan  yang  diletakkan  dasarnya  oleh  para  pendiri  bangsa  melalui  Pasal  33  UUD  1945  semakin  ditinggalkan.  Kondisi  ini  telah  menyebabkan  kehidupan  rakyat  pada  umumnyajauh  dari  kesejahteraan.  Kekayaan  alam  menjadi  lahan  pertarungan  perebutan  pengaruh  diantara  kekuatan‐kekuatan  politik  dan  kekuatan  asing,  tidak  untuk  sebesar‐besar  kemakmuran  rakyat.  Jumlah  kemiskinan  dan  pengangguran  tetap  menjadi  masalah  utama.  Karena  itu,  tidak  ada  pilihan  lain,  kita  harus  mewujudkan  kemandirian  bangsa  dengan  membangun  sistem  ekonomi  kerakyatan.  
Budaya  bangsa  harus  menjadi  jati  diri  dan  kekuatan  bersama.  Wawasan  kebangsaan  mempererat  persatuan  dan  kesatuan  manusia  Indonesia.  Perbedaan  di  antara  kita  tidaklah  menjadi  sebab  untuk  terpecah  belah,  tetapi  hendaknya  menjadi  rahmat  dan  kekuatan  bangsa  Indonesia.   
  
Partai  Gerakan  Indonesia  Raya  (GERINDRA)  hadir  di  tengah  masyarakat  karena  terpanggil  untuk  memberikan  amal  baktinya  kepada  Negara  dan  rakyat  Indonesia.  Partai  GERINDRA  adalah  partai  rakyat  yang  berjuang  untuk  tegaknya  Pancasila,  UUD  1945  sebagaimana  ditetapkan  pada  18  Agustus  1945,  dan  utuhnya  Negara  Kesatuan  Republik   Indonesia.  Partai  GERINDRA  adalah  partai  rakyat  yang  mendambakan  Indonesia  yang  bangun  jiwanya,  dan  bangun  badannya.  Partai  GERINDRA  adalah  partai  rakyat  yang  bertekad  memperjuangkan  kemakmuran   dan  keadilan  disegala  bidang.  
  
Partai  GERINDRA  menyatakan  diri  tampil  di  pentas  demokrasi  untuk  perubahan  kepemimpinan  nasional,  dan  perubahan  tata  laksana  penyelenggaraan  Negara.  Partai  GERINDRA  mendukung  segala  upaya  untuk  pembangunan  bangsa  (nation  building)  dan  karakter  manusia  Indonesia.  Partai  GERINDRA  bertekad  memerdekakan  rakyat  Indonesia  dari  penjajahan  ekonomi  dan  politik  yang  membelenggu  dan  merampas  kehoratan  manusia  Indonesia.  Partai  GERINDRA  menjunjung  tinggi  kebebasan  intelektual  sebagai  amanah  Pancasila  dan  UUD  1945.  Partai  GERINDRA  memposisikan  diri  sebagai  partai  gerakan  yang  mandiri,  produktif,  dan  berpijak  pada  kearifan  lokal,  dalam  upaya  menciptakan  masyarakat  adil,  makmur,  dan  sejahtera.  Sebagai  gerakan,  Partai  GERINDRA  senantiasa  berjuang  bersama  rakyat  serta  menjadikan  kekuatan  rakyat  sebagai  kekuatan  utama  dalam  membangun  bansa  dan  masyarakat  Indonesia.   
  
Jati Diri Partai GERINDRA
  
Dalam  perjuangan  tersebut,  Partai  GERINDRA  berpijak  dan  berpegang  teguh  pada  landasan  kedaulatan  dan  tetap  tegaknya  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  yag  berdasarkan  Pancasila  dan  Undang‐Undang  Dasar  1945.  Adapun  jati  diri  Partai  GERINDRA  adalah  :  
  

1. Kebangsaan  (nasionalisme),  Partai  GERINDRA  adalah  partai  yang  berwawasan  kebangsaan  yang  berpegang  teguh  pada  karakter  nasionalisme  yang  kuat,  tangguh,  dan  mandiri.  Wawasan  kebangsaan  ini  menjadi  jiwa  dalam  segala  aspek  kehidupan  berbangsa,  baik  kehidupan  politik,  ekonomi,  sosial,  budaya  maupun  keagamaan.  

  

2. Kerakyatan,  Partai  GERINDRA  adalah  partai  yang  dibentuk  dari,  oleh,  dan  untuk  rakyat  sebagai  pemilik  kedaulatan  yang  sah  atas  Republik  Indonesia.  Keberpihakan  pada  kepentingan  rakyat  merupakan  sebuah  keniscayaan.  

  

3. Religius,  Partai  GERINDRA  adalah  partai  yang  memegang  teguh  nilai‐nilai  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa  dengan  kebebasan  menjalankan  agama  dan  kepercayaan  masing‐masing.  Nilai‐nilai  religius  senantiasa  menjadi  landasan  bagi  setiap  jajaran  pengurus,  anggota,  dan  kader  Partai  GERINDRA  dalam  bersikap  dan  bertindak.  

  

4. Keadilan  Sosial,  Partai  GERINDRA  adalah  partai  yang  mencita‐citakan  suatu  tatanan  masyarakat  yang  berkeadilan  sosial,  yakni  masyarakat  yang  adil  secara  ekonomi,  politik,  hukum,  pendidikan,  dan  kesetaraan  gender.  Keadilan  sosial  harus  didasari  atas  persamaan hak,  pemerataan,  dan  penghargaan  terhadap  hak  asasi  manusia.  
  
Visi dan Misi Partai GERINDRA
  
Keberadaan  Partai  GERINDRA  dalam  pentas  politik  nasional  memiliki  visi  “menjadi  partai  politik  yang  mampu  menciptakan  kesejahteraan  rakyat,  keadilan  sosial,  dan  tatanan  politik  negara  yang  melandaskan  diri  pada  nilai‐nilai  nasionalisme  dan  religiusitas  dalam  wadah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia.”  Untuk  mewujudkan  visi  tersebut,  Partai  GERINDRA  mengemban  misi  dalam  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara  antara  lain  :  
  

1. Mempertahankan  kedaulatan  dan  tegaknya  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  yang  berdasarkan  Pancasila  dan  UUD  1945.  

2. Mendorong  pembangunan  nasional  yang  menitikberatkan  pada  pembangunan  ekonomi  kerakyatan,  pertumbuhan  ekonomi  yang  berkelanjutan,  dan  pemeratan  hasil‐hasil  pembangunan  bagi  seluruh  warga  bangsa  dengan  mengurangi  ketergantungan  kepada  pihak  asing.  

3. Membentuk  tatanan  sosial  dan  politik  masyarakat  yang  kondusif  untuk  mewujudkan  kedaulatan  rakyat  dan  kesejahteraan  rakyat.  

4. Menegakkan  supremasi  hukum  dengan  mengedepankan  praduga  tak  bersalah  dan  persamaan  hak  di  depan  hukum.   


5. Merebut  kekuasaan  pemerintahan  secara  konstitusional  melalui  Pemilu  Legislatif  dan  Pemilu  Presiden  untuk  menciptakan  lapisan  keemimpinan  nasional  yang  kuat.  

  
Prinsip Dasar Partai GERINDRA
  
Dalam  mewujudkan  visi  dan  misi,  Partai  GERINDRA  mengacu  pada  prinsip‐prinsip  dasar  sebagai  berikut  :  
  
1. Prinsip Disiplin
  
Disiplin  merupakan  prinsip  dasar  dari  seluruh  pejuangan  Partai  GERINDRA  dalam  mencapai  tujuan  bersama.  Dengan  disiplin,  seluruh  sumber  daya  terfokus  dan  terorganisir  sehingga  mencapai  usaha  maksimal.  Dalam  mencapai  tujuan  berbangsa  dan  bernegara,  Partai  GERINDRA  senantiasa  mengedepankan  disiplin  dalam  setiap  gerak  dan  langkah.  
  
2. Prinsip Kedaulatan
  
Kedaulatan  merupakan  perwujudan  sejati  dari  sebuah  kemerdekaan,  yang  meliputi  kedaulatan  atas  diri  sendiri,  keluarga,  masyarakat,  bangsa,  dan  negara.  Menghargai  dan  menghormati  kedaulatan  setiap  entitas  merupakan  landasan  penting  dalam  tata  pergaulan  sosial,  politik,  dan  ekonomi  dalam  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara.  Partai  GERINDRA  bersikap  dan  bertindak  berdasarkan  penghormatan  dan  penghargaan  terhadap  kedaulatan  setiap  individu  serta  menjaga  dan  mempertahankan  kedaulatan  bangsa.  
  
3. Prinsip Kemandirian
  
Kemandirian  dimaknai  sebagai  bekerja  dan  berkarya  berdasarkan  kemampuan  diri  sendiri  dan  tidak  menggantungkan  diri  pada  bantuanpihak  lain.  Kemandirian  juga  dimaknai  sebagai  manifestasi  dari  kepercayaan  diri  dan  penghargaan  atas  diri  sendiri  serta  menempatkan  setiapindividu  sebagai  entitas  yang  memiliki  kemampuan  dan  karya.  Partai  GERINDRA  bersikap  dan  bertindak  berdasarkan  kemampuan  yang  dimiliki  serta  menghargai  kemandirian  setiap  individu.  
  
4. Prinsip Persamaan Hak
  
Dalam  tata  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara,  setiap  individu  memiliki  persamaan  hak  yang  dilindungi  oleh  konstitusi  dan  peraturan  perundangan  yang  berlaku.  Tak  ada  yang  dikecualikan  dan  dibedakan  haknya,  kecuali  dikarenakan  oleh  karya  dan  kerja  individu  itu  sendiri.  Partai  GERINDRA  bersikap  dan  bertindak  dengan  mengedepankan  persamaan  hak  setiap  individu  dan  mengembangkan  sikap  anti  diskrimnasi.  
  
5. Prinsip Kerjasama dan Gotong Royong
  
Sikap  kerjasama  dan  gotong  royong  yang  dilandasi  oleh  penghormatan  atas  kedaulatan,  kemandirian,  dan  
9
persamaan  hak  dalam  mengerjakan  dan  menuntaskan  sebuah  pekerjaan  sejatinya  merupakan  kebutuhan  setiap  manusia  sebagai  makhluk  ssial.  Tidak  ada  individu  yang  bisa  hidup  tanpa  membutuhkan  individu  lain.  Partai  GERINDRA  sangat  menyadari  pentingnya  kerjasama,  karena  itu  dalam  setiap  sikap  dan  tindakan,  Partai  GERINDRA  mengedepankan  dan  mengembangkan  kerjasama  dan  gotong  royong  dengan  entitas  masyarakat  lainnya  sebagai  landasanpergaulan  berbangsa  dan  bernegara.  
  
6. Prinsip Musyawarah
  
Musyawarah  merupakan  ciri  khas  budaya  bangsa  Indonesia  yang  luhur.  Musyawarah  memberikan  penghormatan  kedaulatan  individu  dan  mengedepankan  kepentingan  masyarakat  diatas  kepentingan  pribadi.  Musyawarah  harus  dijadikan  jalan  utama  dalam  memecahkan  setiap  permasalahan  sehingga  tidak  memunculkan  konflik  dan  kebuntuan.  Partai  GERINDRA  menjadi  garda  terdepan  dalam  pelestarian  nilai‐nilai  musyawarah  dengan  mengembangkan  musyawarah  dalam  penyelesaian  permasalahan  bangsa.  

Reaksi: