SELAMAT DATANG di BLOG LUKMAN CENTER 89

SETIA HINGGA AKHIR DALAM KEYAKINAN

Selasa, 01 November 2011

Dukungan Tertinggi, Prospek Cerah Prabowo Menuju RI 1


·         28 Persen Memilih Sebagai Calon Presiden 2014
·         66,5 Persen Memilih Karena Dinilai Tegas
·         19,9 Persen Memilih Karena Berwibawa
JAKARTA-Hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menyebutkan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Mahkamah Kontitusi Mahfud MD paling banyak mendapat dukungan publik sebagai calon Presiden 2014.
Survei yang dilakukan pada 3-8 Oktober 2011 tersebut menunjukkan 28 persen masyarakat memilih Prabowo sebagai calon presiden, sedangkan Mahfud sebesar 10,6 persen. Hasil survei disampaikan peneliti SSS, Ari Nurcahyo, saat melakukan konferensi pers di Hotel Four Season, Jakarta, Rabu (26/10/2011). Teknik penarikan sampel dilakukan dengan metode stratified random sampling dengan menanyai 1.318 responden di 33 provinsi di Indonesia.
Berikut hasil lengkapnya :
Prabowo Subianto                              28 %
Mahfud MD                                       10,6 %
 Sri Mulyani                                        7,4 %
 Aburizal Bakrie                                 6,8 %
Said Akil Siradj                                  6 %
Din Syamsuddin                                 5,2 %
Pramono Edhie Wibowo                   4,2 %
 Jusuf Kalla                                      4,0 %
 Djoko Suyanto                                 3,2 %
Hatta Rajasa                                    2,8 %
Surya Paloh                                     2,5 %.
Ari mengatakan, alasan responden memilih Prabowo sebagai capres karena beberapa faktor. Menurut Ari, sebesar 66,5 persen masyarakat memilih karena tegas dan 19,9 persen memandang Prabowo memiliki kewibawaan yang cukup sebagai calon presiden. Sementara itu, Mahfud dipilih karena kejujurannya sebesar 37 persen, kepandaian 22,8 persen, dan ketegasan 21,7 persen.
Adapun Sri Mulyani, sebesar 44,3 persen, masyarakat memilih dia karena kepandaiannya 27 persen, visioner, dan pekerja keras 10,3 persen. Aburizal Bakrie karena kekayaannya sebesar 65,4 persen, Din Syamsuddin 39,1 persen karena kejujurannya, dan Said Akil Siradj karena religiositasnya sebesar 35,4 persen.
"Jadi, dari data tersebut, tampak masyarakat sekarang ini cenderung rindu akan ketegasan. Boleh jadi ini merupakan bandul yang bergerak diametral karena publik menilai karakter kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang peragu," ujar Ari.
Menurut Ari, karena penilaian karakter yang tegas kepada Presiden SBY telah bergerak ke sisi decisive, maka Prabowo menjadi satu-satunya figur yang dipandang responden merepresentasikan ketegasan tersebut.
Ia menilai, hal tersebut nantinya akan mengakibatkan beberapa tokoh senior tidak akan mengikuti kontestasi politik praktis lagi. "Seperti Megawati, Sultan Hamengku Buwono, Jusuf Kalla, Amien Rais, Wiranto, mereka kemungkinan besar akan lengser keprabon, dan hanya menjadi guru bangsa. Dalam konteks ini, Prabowo bisa menjadi satu-satunya tokoh yang masih ada di ranah Pilpres 2014," kata Toto.
Pengamat politik J Kristiadi mengatakan, hasil survei tersebut merupakan gambaran bahwa masyarakat kini memang membutuhkan sosok pemimpin tegas. Ia menilai, dengan kepemimpinan SBY yang terkesan ragu sekarang ini, menjadi pemicu rakyat untuk memilih calon lainnya yang lebih tegas dan berkarakter. "Sosok tegas itu akan dibutuhkan untuk membawa bangsa ini ke arah mana. Dan, dengan nama Mahfud MD di bawahnya, itu akan menjadikan keseimbangan yang cukup baik bagi karakter pemimpin yang tegas dari militer," kata Kristiadi.( Sumber : Diolah/KOMPAS.com)

Kamis, 13 Oktober 2011

MENERAWANG MASA DEPAN KALTIM PASCA SDA


SEPERTI apakah Kaltim pasca sumber daya alam tak terbaharukan yang dimilikinya habis? Itu pertanyaan yang muncul di benak saya saat naik perahu bermotor di kawasan Bukuan, Palaran bersama beberapa teman. Menyaksikan di sepanjang sisi Sungai Mahakam bangunan-bangunan raksasa bekas pabrik plywood yang mulai ringkih dan lapuk termakan usia karena sudah tidak dipelihara pemiliknya. Nampak sepi dan menyeramkan, hanya ada nyanyian bisu tiupan angin yang berhembus di cerobong asap yang berdiri menjulang tanpa asap lagi.
Sesungguhnya, bangunan ini menceritakan banyak hal di masa lalu dan di masa yang akan datang. Dari lebih sepuluh pabrik yang pernah beroperasi, kini tinggal hanya satu unit yang beroperasi, inipun entah kapan bisa bertahan. Di masa lalu cukup jelas tersurat bahwa pabrik-pabrik ini adalah tumpuan hidup puluhan ribu karyawan langsung dan puluhan ribu lagi lainnya yang secara tidak langsung menggantungkan hidupnya di sini. Mulai mereka yang mengerjakan kayu di tengah hutan sebagai pemasok bahan baku sampai kepada mereka yang hanya sekedar membuka usaha kecil-kecilan di sekitar tempat pabrik-pabrik ini beroperasi. Terlebih lagi karyawan dan keluarganya, semua menggantungkan hidupnya di sini.
Sementara untuk masa yang akan datang, bangunan ini dengan jelas menceritakan bagaimana nasib Kaltim setelah sumber daya alamnya yang tak terbaharukan habis. Kaltim akan “ditinggal”, dan dibiarkan terbengkalai layaknya bangunan-bangunan tua ini. Sedangkan hutan yang mestinya bisa terbaharukan sudah mengalami nasib seperti ini, bagaimana lagi dengan yang tidak terbaharukan?. Yang tertinggal kemudian hanyalah cerita dalam sejarah tentang keindahan masa lalu yang menggambarkan betapa kayanya daerah ini di masa lalu. Selebihnya, hanya akan ada derita. Ancaman bencana alam akan menghantui dan menjadi momok paling menakutkan. Contoh paling nyata bisa kita ambil dari kasus eksploitasi tambang emas di Kutai Barat di era tahun 90-an oleh PT.Kelian Equatorial Mining (KEM). Entah berapa puluh ton emas yang diambil dari perut bumi daerah itu di masa lalu, yang pasti kini hal itu tinggal cerita masa lalu. (Catatan Kompas 2007, rata-rata 40 Ton per tahun selama 13 tahun / IMA)
 Hal ini tentu menjadi persoalan besar bagi masyarakat Kaltim saat ini, terutama pihak eksekutif dan legislative sebagai stakeholder. Masa depan Kaltim akan banyak tergantung dari pengambil keputusan hari ini. Sejumlah persoalan hari ini, itu tidak lepas dari keputusan di masa lalu oleh pemerintah terdahulu. Kekeliruan yang pernah dibuat pemerintah di masa lalu dengan membiarkan eksploitasi sumber daya hutan tanpa upaya rehabilitasi secara maksimal agar terjadi kesinambungan sumber-sumber daya bahan baku bagi puluhan pabrik plywood jangan sampai terulang lagi. Terlebih lagi di sektor pertambangan batubara yang saat ini tengah memasuki “bulan madu”nya. Karena selain sumber daya alam ini tidak terbaharukan, bekas-bekas galiannya juga selalu meninggalkan kubangan raksasa yang sangat mengerikan selain kerusakan ekosistem lainnya yang tidak terukur nilainya.
Pemerintah daerah di Kaltim memang tidak bisa menghentikan eksploitasi batu bara saat ini karena kebijakan pemerintah pusat dengan segala perhitungannya tentunya, namun yang bisa dilakukan sebelum terlambat adalah pertama; bagaimana ritme eskploitasi itu bisa diatur sedemikian rupa sehingga sumber daya tersebut tidak habis sebelum rakyat Kaltim siap bersaing secara intelektual dan memiliki keunggulan dalam bidang sains dan teknologi masa depan. Kedua, Kaltim harus mendapatkan harga yang tinggi (penghasilan besar) dari setiap eksploitasi sumber daya alamnya yang tidak terbaharukan tersebut. Karena itu, langkah sekelompok masyarakat Kaltim yang tergabung dalam Majelis Rakyat Kaltim Bersatu (MRKTB) mengajukan Judicial Review  terhadap UU No.32/2004 ke Mahkamah Konstitusi adalah sebuah langkah yang tepat saat ini. Dan sudah seharusnya setiap individu, setiap kelompok yang ada di Kaltim bahkan orang Kaltim yang ada di luar Kaltim saat inipun harus mendukung upaya ini agar dapat berhasil.
Selain itu, langkah Pemrov Kaltim memberikan beasiswa bagi mahasiswa untuk belajar ke luar negeri juga patut diberikan apresiasi yang tinggi. Kebijakan ini harus terus dipertahankan dan terus ditingkatkan, bukan hanya terbatas pada mahasiswa yang sudah diterima di perguruan tinggi tertentu tapi bagaimana pemerintah daerah menjaring sendiri  putera-puteri daerah yang memiliki kecerdasan untuk disekolahkan sebagai program pemerintah dalam meningkatkan kapabilitas intelektual generasi muda Kaltim dalam menyonsong era pasca sumber daya alam. Langkah pemerintah ini mestinya juga diwajibkan kepada perusahan-perusahan yang melakukan eksploitasi sumber daya alam di Kaltim untuk menyekolahkan putera-puteri Kaltim ke perguruan tinggi di daerah ataupun di luar daerah termasuk ke luar negeri sampai selesai, bukan hanya sebatas pemberian beasiswa atau bantuan pendidikan.
Kaltim masih memiliki nilai tawar saat ini di hadapan pemerintah pusat karena masih memiliki sumber daya alam primadona yang melimpah. Setidaknya, minyak, gas alam, batu bara, emas dan sejumlah sumber daya alam lainnya yang tak terbaharukan masih cukup melimpah. Kini tinggal kemauan dan keberanian yang harus dimiliki pemerintah daerah untuk melakukan tekanan-tekanan terhadap pemerintah pusat agar ketertinggalan pembangunan di Kaltim saat ini bisa dikejar. Setidaknya, sebelum sumber daya alam Kaltim habis terkuras, Kaltim telah siap beralih ke era industrialisasi dan teknologi yang sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan jaman. Kalau tidak, maka hanya masalah waktu Kaltim akan mengalami nasib seperti sejumlah bangunan-bangunan tua bekas pabrik plywood di sepanjang Sungai Mahakam itu, terlantar menunggu roboh.(*****)

Senin, 19 September 2011

PIDATO MANTAN PRESIDEN BJ HABIBIE PADA PERINGATAN HARI LAHIRNYA PANCA SILA


Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara



Yth. Presiden RI, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono,Yth Presiden ke-5, Ibu Megawati SoekarnoputriYth. Para mantan Wakil Presiden. Yth Pimpinan MPR dan Lembaga Tinggi Negara lainnya, Bapak-bapak dan Ibu-ibu para anggota MPR yang saya hormati, Serta seluruh rakyat Indonesia yang saya cintai. Assalamu ‘alaikum wr wb, salam sejahtera untuk kita semua.

Hari ini tanggal 1 Juni 2011, 66 tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.

Selama 66 tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap zaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.

Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah Pancasila kini berada?

Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.

Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila?

Para hadirin yang berbahagia,

Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah "lenyap" dari kehidupan kita. Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 -- 66 tahun yang lalu -- telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain: (1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya; (2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM); (3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap "manipulasi" informasi dengan segala dampaknya.

Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.

Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional' tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.

Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak Pancasilais" atau "anti Pancasila".

Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.

Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu.

Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!

Para hadirin yang berbahagia,

Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang.
Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik.

Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.

Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini.
Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini.
Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.

Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.

Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi' sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.

Para hadirin yang berbahagia,

Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah menggobal sekarang ini?

Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru".

Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau "VOC-baju baru" itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan "jam kerja" bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan usaha meningkatkan "Neraca Jam Kerja" tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan "nilai tambah" berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari "biaya tambah"; dengan ungkapan lain, "value added" harus lebih besar dari "added cost". Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas dan kualitas sumberdaya manusia dengan mengembangkan, menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan.

Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat ‘diaktualisasikan' lagi dalam kehidupan kita.

Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.

Para hadirin yang saya hormati,

Oleh karena itu saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu.
Akan tetapi, karena jaman terus berubah yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut.

Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial, saya yakin bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa depan. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara.

Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Saya yakin, meskipun kita berbeda suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.

Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Saya percaya, demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.

Wassalamu ‘alaikum wr wb.
Jakarta 1 Juni 2011

Bacharuddin Jusuf Habibie

Minggu, 18 September 2011

MEMAKNAI TRAGEDI WTC BAGI INDONESIA



Peristiwa serangan gedung kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat (AS) (11/9/2001) yang menewaskan sekitar 3000 orang telah berlalu selama 10 tahun.  Dan hampir sepuluh tahun perburuan terhadap tertuduh tokoh utama dalang peristiwa tersebut Osama Bin Laden baru berhasil dibunuh pasukan Navy Seals Amerika Serikat di Pakistan (2/5/2011), meskipun saya pribadi sangat meragukan hal itu dengan alasan kecuali foto-foto tewasnya yang diduga telah direkayasa mayatnya tidak ditunjukkan ke publik sebagaimana pertunjukan Amerika Serikat terhadap mayat Presiden Irak Saddam Husein setelah dihukum pancung. Saddam Husein dituding Presiden Amerika Serikat waktu itu George Walker Bush sebagai pendukung aksi teror tersebut.
Bagi saya, “pertunjukan” yang menewaskan Osama Bin Laden tidak lebih daripada propaganda untuk memenuhi janji politik Presiden Barrack Obama pada masa kampanye saat mencalonkan dirinya menjadi presiden lalu. Kala itu, Barrack Obama berjanji akan menangkap biang peristiwa 9 September 2001 tersebut. Hal ini penting dilakukan guna mengamankan jalan menuju kursi kepresidenan AS periode berikutnya yang tidak lama lagi.
AS dan sekutunya boleh saja mengklaim kejadian tersebut sebagai aksi teroris, namun saya lebih suka mengatakan bahwa kejadian tersebut merupakan aksi balas dendam sekelompok orang yang menyebut dirinya Al Qaeda, ataupun paling tidak seperti itulah AS dan sekutunya menyebut kelompok itu. Aksi balas dendam tersebut sebagai salah satu bentuk paling ekstrim terhadap kekejaman AS dan sekutunya di berbagai belahan dunia. Baik kekejaman yang dilakukan dengan aksi bersenjata maupun kekejaman secara ekonomi melalui perampasan sumber-sumber ekonomi sebuah negara yang dilakukan dengan mempergunakan kekuatan diplomatiknya. Sebut saja dukungan AS terhadap Israel, keberadaan tentara AS di Arab Saudi, dan sanksi terhadap Irak yang dituduh mengembangkan senjata pemusnah massal sebagai alasan untuk menjatuhkan pemerintahan Saddam Husein namun tidak pernah terbukti sebagai motif serangan ini.


Kejadian tersebut mestinya memberikan pelajaran dan harusnya AS dan sekutunya memahami betapa penderitaan yang dialami warga AS dengan kejadian seketika itu telah dialami oleh begitu banyak Negara dan tentu saja warganya sebagai akibat dari aggresi militer AS dan sekutunya dengan berbagai macam alasan. Intervensi AS baik yang dilakukan secara langsung ataupun yang tidak langsung terhadap Negara-negara yang tidak sepaham dengan kebijakannya hendaknya dikaji ulang, standar ganda yang selama ini dipergunakan AS tentang isu Hak Azasi Manusia (HAM) yang kerap kali digunakan sebagai tameng ataupun pintu masuk untuk mengobok-obok Negara lain yang berdaulat hendaknya dihentikan. Karena kalau hal itu masih terus diterapkan bukan tidak mungkin peristiwa yang lebih mengerikan akan kembali menimpa Negara AS dan sekutunya di kemudian hari.

Kita sepakat tentang apa yang menimpa penghuni gedung menara kembar World Trade Center yang tewas mengenaskan adalah sebuah tindakan yang sangat kejam bagi kemanusiaan, mereka mungkin orang-orang yang tidak terlibat dalam segala tindakan kekejaman AS dan sekutunya di belahan dunia lain. Sangat berdasar bila kita mengutuknya, namun mestinya kutukan itu tidak berhenti hanya sampai di situ. Kita juga mestinya mengutuk segala tindakan kekejaman tentara Zionis Israel terhadap warga Negara Palestina yang didukung oleh AS dan sekutunya yang telah berlangsung puluhan tahun dan telah menewaskan warga Palestina lebih dari pada jumlah warga AS yang tewas dalam tragedi 11 September 2001 tersebut.


Bagi Indonesia, peristiwa yang berlangsung sepuluh tahun silam bisa memberikan banyak pelajaran berharga dalam rangka penguatan kekuatan di dalam negeri dan di luar negeri guna menjamin stabilitas keamanan di dalam negeri. Yang terjadi di dalam negeri AS itu dirancang di luar negeri, hal seperti ini lazim terjadi. Pada kenyataannya hal ini juga memang terjadi di Indonesia di masa lalu dan masa kini. Di masa lalu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diracik di Swedia oleh Hasan Tiro cs. Sementara yang masih terus berlangsung saat ini adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang terus mencari dukungan di senat Amerika Serikat. 

Pelajaran lain yang bisa diambil dari kejadian mengerikan tersebut adalah betapa pentingnya penguatan kekuatan intelijen, sejumlah kasus bom yang terjadi di tanah air bisa jadi barometer kekuatan intelijen Indonesia. Ketika niat untuk menyerang sebuah target sudah muncul dan rencana aksi sudah dipersiapkan, maka hanya dengan ketajaman “penciuman” intelijen yang bisa menggagalkannya. Yang patut dicermati adalah bahwa selamanya penjahat selangkah di depan dari pada aparat keamanan. Dan hal itupun sudah kelihatan di kejadian 11 September 2001 tersebut, malah bisa dikatakan para “pejuang” itu sudah sangat jauh melangkah di depan dibandingkan dengan aparat keamanan AS. Karena selain gedung WTC yang jadi target ada sejumlah sasaran lain seperti gedung Pentagon yang tidak lain merupakan markas pertahanan AS jadi bulan-bulanan mereka, dan tidak ada yang berhasil “mencium” rencana aksi tersebut.  
(Bersambung)….

Minggu, 11 September 2011

MEMPERTAHANKAN JATI DIRI BANGSA


KATA INDONESIA muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:  Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. 

(Mr.Earl menyarankan istilah ethnographical Indunesian, namun menolak dalam mendukung Melayunesia. Saya lebih suka istilah murni geografis Indonesia yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk pulau-pulau atau kepulauan Indian Indian.) 

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama Indonesia dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880.

Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah Indonesia di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah Indonesia itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah Indonesia itu dari tulisan-tulisan Logan.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiƫr (orang Indonesia).
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
JAS MERAH (Jangan sekali-kali melupakan sejarah) kata Ir.Soekarno, sang proklamator. Jangan melupakan sejarah bisa bermakna belajarlah dari sejarah terbentuknya bangsa ini. Dari sejumlah kerajaan yang berdiri sendiri dengan segala kemakmuran yang dinikmatinya lalu kemudian dijadikan daerah jajahan bangsa lain. Lalu ada perjuangan melawan penjajah secara lokal membela kerajaan masing-masing, kemudian ada kerjasama antar kerajaan yang merasa senasib sepenanggungan untuk mengusir penjajahan selama ratusan tahun sebelum masuk ke episode pergerakan modern yang membawa nama Indonesia.

Praktis 3,5 abad di bawah penjajahan VOC Belanda ditambah 3,5 tahun dibawah penjajahan Jepang Bangsa Indonesia berada di bawah penguasaan bangsa lain. Pendertiaan yang dialami bangsa ini sedemikian lama bukannya tanpa makna dan hikmah, pernahkah kita terpikir seandainya tidak ada penjajahan itu apakah mungkin akan ada negara bernama Indonesia?

Hal lain yang bisa diambil hikmahnya adalah bahwa penjajahan itu telah menjadi sumber kekuatan perekat bagi bangsa yang sangat luas wilayah dan sangat besar jumlah penduduknya yang secara otomatis juga menjadikannya sebagai negara yang multi kultur, negara yang sangat kaya budaya yang bernilai tinggi.
Ada banyak hikmah yang bisa kita petik dari sejarah panjang perjuangan mendirikan, membentuk dan membangun Indonesia selain dua hal yang disebutkan di atas. Yang sangat penting kita harus ingat adalah bahwa kekuatan perekat itu karena adanya rasa senasib sepenanggungan meskipun mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda dan tentu saja dengan kebudayaan dan tradisi yang berbeda-beda pula.

Oleh karena itu, dalam rangka menjaga keutuhan Bangsa dan Negara Indonesia perlulah kiranya pemerintah dan segenap komponen bangsa ini menghormati dan menjaga nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang dimiliki setiap daerah, setiap suku bangsa dari Sabang sampi Marauke. Karena kalau ini tidak dikelola dengan cermat dan sangat hati-hati maka tidak menutup kemungkinan perbedaan budaya ini akan dimamfaatkan penjajahan gaya baru untuk memecah belah Bangsa Indonesia pada masa mendatang.

Ketersinggungan budaya baik yang tangible seperti warisan-warisan bangunan-bangunan kuno, mesjid, candi, pura, gereja, rumah adat makam raja-raja ataupun intangible seperti keyakinan, agama, bahasa, seni budaya, tradisi, pewayangan ataupun tari-tarian dapat memicu perselisihan suku bangsa yang kemudian bergeser kepada perpecahan daerah.

Tengoklah sejarah sebuah bangsa yang besar bernama Uni Sovyet yang berpenduduk sekitar 300 juta jiwa, Negara yang dikenal dengan istilah Negara Beruang Merah, pacsa perang dunia ke dua (1940-1945) Negara itu adalah sebuah Negara besar yang disegani Negara-negara lain di dunia termasuk Amerika Serikat sekalipun dengan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO = North Atlantic Treaty Organization) namun apa yang terjadi saat ini Negara itu telah terpecah menjadi 15 negara merdeka.


Salah satu penyebab kehancuran Uni Sovyet disinyalir kuat karena kegagalan memelihara budaya yang beraneka ragam di negara adi daya tersebut. Sebelum kehancurannya, diperkirakan 50 juta jiwa penduduknya adalah beragama Islam merupakan keturunan Turki, 250 juta jiwa lainnya tidak beragama karena memang agama dilarang oleh komunis. Meskipun sebenarnya jika dirunut dari sejarah asal usulnya mereka adalah penganut ajaran Kristen ortodoks.

Hal yang sama juga terjadi di negara Yugoslavia, negara yang memiliki peran penting dalam pendirian kelompok negara-negara non blok bersama Indonesia ini hilang dari peta dunia setelah terpecah menjadi 6 negara berdaulat. Perpecahan terjadi sebagai akibat adanya perselisihan antara dua suku, yaitu Suku Bosnia dan Suku Kroasia. Meskipun mereka berasal dari ras yang sama baik muslim maupun non muslim. Mereka muslim Eropa, bukan muslim Arab ataupun Turki. Mereka pindah agama ketika kerajaan Ottoman datang, sebelumnya mereka beragama Kristen.

Contoh lain adalah pembantaian yang dilakukan etnis Kroasia terhadap etnis Serbia, puluhan ribu warga Serbia tewas dibantai karena persoalan bahasa. Yang satu karena menggunakan huruf latin yang lainnya menggunakan huruf sirilik Rusia. Mereka bertikai bukan karena masalah idiologi atau pun agama, mereka bertikai lebih disebabkan oleh masalah suku, adat istiadat, dan budaya.

Banyak lagi Negara yang terpecah karena faktor pengabaian budaya, Sudan juga terpecah karena faktor perbedaan agama. Begitu juga Kanada tahun 1971 hampir pecah karena faktor budaya dan bahasa, sebagian penduduknya adalah keturunan Prancis yang merasa terinjak oleh pihak penguasa yang mayoritas keturunan Inggris.  Begitu juga dengan Negara Belgia saat ini diambang disintegrasi karena perbedaan suku, adat budaya dan bahasa. Sebagian warganya adalah suku Belanda sebagian lagi adalah suku Prancis. Negara ini memang terletak di antara Belanda dan Prancis.

Sejumlah contoh di atas hendaknya bisa diambil pelajaran oleh para pemimpin di negeri ini. Kemajemukan suku bangsa, bahasa, agama, adat istiadat dan budaya memiliki potensi yang sangat besar dan rentan akan terjadinya perpecahan. Sehingga pemerintah dan seluruh komponen anak bangsa yang masih cinta dengan Tanah Air Indonesia harus selalu bergandengan tangan dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sikap saling menghormati dan saling menghargai antar sesama anak bangsa adalah kunci utama menjaga keutuhan Negara yang telah mengalami masa-masa sulit ratusan tahun lamanya.

Hal lain yang tidak boleh dilupakan pemerintah adalah bahwa Indonesia tidak hanya Pulau Jawa, pemerataaan pembangunan dan hasil-hasilnya di luar Pulau Jawa seyogianya juga mutlak dilakukan sebagai suatu keharusan. Selain faktor budaya, terjadinya disparitas pembangunan antara pulau, antara provinsi, antara daerah juga merupakan satu sumber konflik sebagai akibat rasa ketidakadilan. Penyerapan sumber-sumber daya keuangan dari daerah yang tidak seimbang dengan yang dikembalikan juga akan menjadi pemicu ketidakpuasan orang-orang daerah.

Pemberontakan atas ketidakpuasan atas penguasa (penjajah) sebenarnya sebagai akibat tindakan eksploitatif penjajah telah terjadi di zaman kerajaan meskipun bersifat kedaerahan, yang dalam perjalanan panjangnya berkembang menjadi bersifat nasional. Pasca 17 Agustus 1945 pemberontakan itu bukannya habis seiring telah diproklamasikannya Negara Indonesia, sejumlah pemberontakan bersenjata tetap terjadi. Kali ini pemberontakan itu justru ditujukan kepada pemerintah pusat. Penyebabnya karena ketidakpuasan mereka atas kebijakan pemerintah pusat atas ketidakadilan pembangunan. Sebut saja misalnya pemberontakan PRRI di Sumatera, Permesta di Sulawesi, Darul Islam dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh DII/TII di Jawa Barat, bahkan saat ini masih terus meronrong dengan aksi-aksinya adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Bahwa jati diri bangsa Indonesia adalah Panca Sila sebagai dasar negara dengan sila-silanya adalah berketuhanan yang maha esa, berprikemanusiaan, Persatuan, Kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,  dan Berkeadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta butir-butir yang terkandung di dalamnya haruslah dipertahankan karena itulah yang menjadi perekat utama tegaknya dan bertahannya Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini.

Semogalah pemerintah dan pemimpin-pemimpin bangsa ini memegang teguh amanat penderitaan rakyat dalam memperjuangkan dan merebut kemerdekeaan Indonesia dari tangan penjajah, selalu mengenakan JAS MERAH kemanapun mereka pergi dan di manapun mereka berada. Sedetik melupakan budaya JAS MERAH maka pada detik berikutnya kehancuran sudah mengintai negeri yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem karto raharjo ini (makmur, sejahtera, aman, nyaman, tenteram, dan berkecukupan).*****