SELAMAT DATANG di BLOG LUKMAN CENTER 89

SETIA HINGGA AKHIR DALAM KEYAKINAN

Minggu, 11 September 2011

MEMPERTAHANKAN JATI DIRI BANGSA


KATA INDONESIA muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:  Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. 

(Mr.Earl menyarankan istilah ethnographical Indunesian, namun menolak dalam mendukung Melayunesia. Saya lebih suka istilah murni geografis Indonesia yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk pulau-pulau atau kepulauan Indian Indian.) 

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama Indonesia dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880.

Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah Indonesia di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah Indonesia itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah Indonesia itu dari tulisan-tulisan Logan.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiƫr (orang Indonesia).
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
JAS MERAH (Jangan sekali-kali melupakan sejarah) kata Ir.Soekarno, sang proklamator. Jangan melupakan sejarah bisa bermakna belajarlah dari sejarah terbentuknya bangsa ini. Dari sejumlah kerajaan yang berdiri sendiri dengan segala kemakmuran yang dinikmatinya lalu kemudian dijadikan daerah jajahan bangsa lain. Lalu ada perjuangan melawan penjajah secara lokal membela kerajaan masing-masing, kemudian ada kerjasama antar kerajaan yang merasa senasib sepenanggungan untuk mengusir penjajahan selama ratusan tahun sebelum masuk ke episode pergerakan modern yang membawa nama Indonesia.

Praktis 3,5 abad di bawah penjajahan VOC Belanda ditambah 3,5 tahun dibawah penjajahan Jepang Bangsa Indonesia berada di bawah penguasaan bangsa lain. Pendertiaan yang dialami bangsa ini sedemikian lama bukannya tanpa makna dan hikmah, pernahkah kita terpikir seandainya tidak ada penjajahan itu apakah mungkin akan ada negara bernama Indonesia?

Hal lain yang bisa diambil hikmahnya adalah bahwa penjajahan itu telah menjadi sumber kekuatan perekat bagi bangsa yang sangat luas wilayah dan sangat besar jumlah penduduknya yang secara otomatis juga menjadikannya sebagai negara yang multi kultur, negara yang sangat kaya budaya yang bernilai tinggi.
Ada banyak hikmah yang bisa kita petik dari sejarah panjang perjuangan mendirikan, membentuk dan membangun Indonesia selain dua hal yang disebutkan di atas. Yang sangat penting kita harus ingat adalah bahwa kekuatan perekat itu karena adanya rasa senasib sepenanggungan meskipun mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda dan tentu saja dengan kebudayaan dan tradisi yang berbeda-beda pula.

Oleh karena itu, dalam rangka menjaga keutuhan Bangsa dan Negara Indonesia perlulah kiranya pemerintah dan segenap komponen bangsa ini menghormati dan menjaga nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang dimiliki setiap daerah, setiap suku bangsa dari Sabang sampi Marauke. Karena kalau ini tidak dikelola dengan cermat dan sangat hati-hati maka tidak menutup kemungkinan perbedaan budaya ini akan dimamfaatkan penjajahan gaya baru untuk memecah belah Bangsa Indonesia pada masa mendatang.

Ketersinggungan budaya baik yang tangible seperti warisan-warisan bangunan-bangunan kuno, mesjid, candi, pura, gereja, rumah adat makam raja-raja ataupun intangible seperti keyakinan, agama, bahasa, seni budaya, tradisi, pewayangan ataupun tari-tarian dapat memicu perselisihan suku bangsa yang kemudian bergeser kepada perpecahan daerah.

Tengoklah sejarah sebuah bangsa yang besar bernama Uni Sovyet yang berpenduduk sekitar 300 juta jiwa, Negara yang dikenal dengan istilah Negara Beruang Merah, pacsa perang dunia ke dua (1940-1945) Negara itu adalah sebuah Negara besar yang disegani Negara-negara lain di dunia termasuk Amerika Serikat sekalipun dengan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO = North Atlantic Treaty Organization) namun apa yang terjadi saat ini Negara itu telah terpecah menjadi 15 negara merdeka.


Salah satu penyebab kehancuran Uni Sovyet disinyalir kuat karena kegagalan memelihara budaya yang beraneka ragam di negara adi daya tersebut. Sebelum kehancurannya, diperkirakan 50 juta jiwa penduduknya adalah beragama Islam merupakan keturunan Turki, 250 juta jiwa lainnya tidak beragama karena memang agama dilarang oleh komunis. Meskipun sebenarnya jika dirunut dari sejarah asal usulnya mereka adalah penganut ajaran Kristen ortodoks.

Hal yang sama juga terjadi di negara Yugoslavia, negara yang memiliki peran penting dalam pendirian kelompok negara-negara non blok bersama Indonesia ini hilang dari peta dunia setelah terpecah menjadi 6 negara berdaulat. Perpecahan terjadi sebagai akibat adanya perselisihan antara dua suku, yaitu Suku Bosnia dan Suku Kroasia. Meskipun mereka berasal dari ras yang sama baik muslim maupun non muslim. Mereka muslim Eropa, bukan muslim Arab ataupun Turki. Mereka pindah agama ketika kerajaan Ottoman datang, sebelumnya mereka beragama Kristen.

Contoh lain adalah pembantaian yang dilakukan etnis Kroasia terhadap etnis Serbia, puluhan ribu warga Serbia tewas dibantai karena persoalan bahasa. Yang satu karena menggunakan huruf latin yang lainnya menggunakan huruf sirilik Rusia. Mereka bertikai bukan karena masalah idiologi atau pun agama, mereka bertikai lebih disebabkan oleh masalah suku, adat istiadat, dan budaya.

Banyak lagi Negara yang terpecah karena faktor pengabaian budaya, Sudan juga terpecah karena faktor perbedaan agama. Begitu juga Kanada tahun 1971 hampir pecah karena faktor budaya dan bahasa, sebagian penduduknya adalah keturunan Prancis yang merasa terinjak oleh pihak penguasa yang mayoritas keturunan Inggris.  Begitu juga dengan Negara Belgia saat ini diambang disintegrasi karena perbedaan suku, adat budaya dan bahasa. Sebagian warganya adalah suku Belanda sebagian lagi adalah suku Prancis. Negara ini memang terletak di antara Belanda dan Prancis.

Sejumlah contoh di atas hendaknya bisa diambil pelajaran oleh para pemimpin di negeri ini. Kemajemukan suku bangsa, bahasa, agama, adat istiadat dan budaya memiliki potensi yang sangat besar dan rentan akan terjadinya perpecahan. Sehingga pemerintah dan seluruh komponen anak bangsa yang masih cinta dengan Tanah Air Indonesia harus selalu bergandengan tangan dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sikap saling menghormati dan saling menghargai antar sesama anak bangsa adalah kunci utama menjaga keutuhan Negara yang telah mengalami masa-masa sulit ratusan tahun lamanya.

Hal lain yang tidak boleh dilupakan pemerintah adalah bahwa Indonesia tidak hanya Pulau Jawa, pemerataaan pembangunan dan hasil-hasilnya di luar Pulau Jawa seyogianya juga mutlak dilakukan sebagai suatu keharusan. Selain faktor budaya, terjadinya disparitas pembangunan antara pulau, antara provinsi, antara daerah juga merupakan satu sumber konflik sebagai akibat rasa ketidakadilan. Penyerapan sumber-sumber daya keuangan dari daerah yang tidak seimbang dengan yang dikembalikan juga akan menjadi pemicu ketidakpuasan orang-orang daerah.

Pemberontakan atas ketidakpuasan atas penguasa (penjajah) sebenarnya sebagai akibat tindakan eksploitatif penjajah telah terjadi di zaman kerajaan meskipun bersifat kedaerahan, yang dalam perjalanan panjangnya berkembang menjadi bersifat nasional. Pasca 17 Agustus 1945 pemberontakan itu bukannya habis seiring telah diproklamasikannya Negara Indonesia, sejumlah pemberontakan bersenjata tetap terjadi. Kali ini pemberontakan itu justru ditujukan kepada pemerintah pusat. Penyebabnya karena ketidakpuasan mereka atas kebijakan pemerintah pusat atas ketidakadilan pembangunan. Sebut saja misalnya pemberontakan PRRI di Sumatera, Permesta di Sulawesi, Darul Islam dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh DII/TII di Jawa Barat, bahkan saat ini masih terus meronrong dengan aksi-aksinya adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Bahwa jati diri bangsa Indonesia adalah Panca Sila sebagai dasar negara dengan sila-silanya adalah berketuhanan yang maha esa, berprikemanusiaan, Persatuan, Kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,  dan Berkeadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta butir-butir yang terkandung di dalamnya haruslah dipertahankan karena itulah yang menjadi perekat utama tegaknya dan bertahannya Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini.

Semogalah pemerintah dan pemimpin-pemimpin bangsa ini memegang teguh amanat penderitaan rakyat dalam memperjuangkan dan merebut kemerdekeaan Indonesia dari tangan penjajah, selalu mengenakan JAS MERAH kemanapun mereka pergi dan di manapun mereka berada. Sedetik melupakan budaya JAS MERAH maka pada detik berikutnya kehancuran sudah mengintai negeri yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem karto raharjo ini (makmur, sejahtera, aman, nyaman, tenteram, dan berkecukupan).*****



JANGAN TERUSKAN SISTEM EKONOMI YANG KELIRU

--------Presiden Venezuela Hugo Rafael Chavez pada hari Senin, 18 Agustus 2008 telah melakukan Nasionalisasi Perusahaan Semen Mexico di Venezuela, yaitu CEMEX secara paksa setelah berbulan-bulan gagal melakukan pengambilan alihan perusahaan itu melalui jalan negosiasi.---------

----------------------------------------------------------------------------- 

KETUA Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) Prabowo Subianto Djoyohadikusumo menegaskan bahwa NASIONALISME merupakan jalan keluar persoalan ekonomi yang dihadapi Bangsa Indonesia.
        "Model ekonomi Indonesia harus kembali kepada kepentingan nasional kita, yaitu nasionalisme.Kita harus berani kembali ke Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945," Kata Prabowo Subianto dalam ceramah umum di Universitas Warmadewa, Bali (2/5/2011).

        Para pendiri bangsa atau founding father telah mengunci rancangan ekonomi Indonesia melalui Pasal 33 UUD 1945 itu. Para pendiri bangsa  telah mengalami imprealisme, penjajahan dan penindasan. Mereka juga merasakan depresi ekonomi tahun 1930-an, demikian Prabowo.

        Pemikiran Prabowo, calon Presiden Republik Indonesia ke-7 ini menyiratkan betapa telah terjadi penyimpangan dalam kebijakan perekonomian di Indonesia selama ini. Maka wajarlah kemudian ketika Rakyat Indonesia meskipun telah merdeka selama 66 tahun tetap saja berkubang di dalam lumpur kawah kemiskinan dan jauh dari cita-cita prokalamasi 17 Agustus 1945 yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur seperti termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945.

        Prabowo kemudian mencontohkan bagaimana negara-negara yang mengalami kemajuan di Asia seperti China, Singapura, Vietnam, dan Malaysia yang sukses menerapkan Pasal 33 UUD 1945 ini. Sementara Indonesia yang telah terlebih dahulu memiliki semangat Pasal 33 ini justru tidak menerapkannya.

        "Kita meninggalkan pasal ini, kita berkhianat kepada pendiri-pendiri bangsa kita sendiri" tegas Prabowo Subianto.

         Indonesia butuh seorang presiden yang memiliki jiwa kepemimpinan yang lebih kuat, lebih berani, lebih tegas, menempatkan hukum sebagai panglima tertinggi dalam mengelola negara,  memiliki wawasan Internasional dan mampu berdialog dengan kekuatan global tanpa tercerabut dari kepentingan lokal kerakyatan, memiliki  jiwa patriotisme seperti Prabowo Subianto.

        Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi pemimpin Indonesia di masa mendatang adalah bagaimana mengurangi dominasi asing di dalam pengelolaan sumber daya alam dan objek-objek vital lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak. Objek-objek vital yang telah dikuasai asing selama ini dan sangat merugikan kepentingan nasional harus dinasionalisasi sebagaimana  yang dilakukan negara Venezuela di Amerika Latin.*****(Sumber : Tabloid Gema Indonesia Raya)