SELAMAT DATANG di BLOG LUKMAN CENTER 89

SETIA HINGGA AKHIR DALAM KEYAKINAN

Rabu, 31 Agustus 2011

Niccolo Di Bernardo Machiavelli

MENJADI PENGUASA

Konon, nikmatnya menjadi penguasa itu lebih nikmat dari pada saat bersenggama. Entah benar entah salah, namun dari catatan sejarah banyak contoh yang bisa melukiskan dengan jelas bagaimana seseorang berjuang untuk mendapatkan posisi penguasa, bagaimana seorang pemimpin yang mati-matian mempertahankan kekuasaannya. Mereka lupa turun atau tidak mau turun dari tahta kekuasaannya, sehingga tidak sedikit yang mati di tampuk kekuasaan karena dipaksa turun. Bandingkan seberapa banyak orang yang rela mati demi mempertahankan kenikmatan saat bersenggama? Hanya orang bodoh yang akan melakukannya dengah menelan obat kuat dan over dosis kemudian.

Menurut  Niccolo Di Bernardo Machiavelli, (3 May 1469 – 21 June 1527) untuk mendapatkan kekuasaan ada beberapa cara yang bisa ditempuh. Mulai dari mengandalkan nasib mujur (fortune), mengandalkan kemampuan diri sendiri (senjata) sebagai keutamaan (virtue), melalui cara-cara konstitusional (Pemilihan Umum), dan menggunakan cara licik dan kejam.

Mereka yang mengandalkan nasib mujur biasanya karena faktor kekuatan lain yang menempatkannya sebagai penguasa, mereka ditunjuk oleh sebuah kekuatan yang menempatkannya pada posisi penguasa. Namun penguasa seperti ini sesungguhnya hanyalah penguasa boneka karena akan dikendalikan oleh kekuatan yang menempatkannya sebagai penguasa


Penguasa yang mengandalkan kemampuan diri sendiri berjuang melewati rintangan berat, pertempuran yang menimbulkan korban dan pengorbanan lainnya sebelum bisa menduduki posisi sebagai penguasa. Namun, mereka yang memperolah kekuasaan dengan cara ini akan mudah mempertahankan kekuasaannya. Untuk sukses mereka bisa memadukan nasib mujur dan kekuatan senjata. Bagi mereka, nasib mujur adalah kemampuan memamfaatkan peluang. Sebesar apapun peluang yang datang bila tidak diperjuangkan akan sia-sia. Sebaliknya dengan bekal persenjataan sekuat apapun akan cepat padam bila tidak didahului oleh peluang.

Kemujuran dan kemampuan senjata sama bergunanya bagi seorang calon penguasa. Keduanya dapat meredakan kesulitan yang mungkin timbul saat baru berkuasa. Yang menjadi pembeda adalah ketika ingin mempertahankan kekuasan, penguasa yang semakin tidak mengandalkan nasib mujur akan semakin kuat kedudukannya.

Tiga orang penguasa yang mengandalkan kemampuan sendiri sebelum menjadi raja bisa jadi referensi saat ini adalah Romulus di Roma yang berhasil menghimpun pasukan untuk menguasai Kota Roma. Kemudian Cyrus yang bersusah payah mengobarkan semangat pemberontakan rakyat Persia melawan Kerajaan Medes. Dan Theseus harus menghadapi perang berkepanjangan dan melelahkan sebelum berhasil menyatukan Athena dan menjadi raja di sana. Mereka menjadi penguasa yang dicintai rakyatnya karena membawa kemakmuran bagi kerajaan yang dipimpinnya.

Penguasa yang tidak membekali dirinya dengan kekuatan senjata namun berani mengadakan perubahan akan menuai badai. Hanya “nabi” yang bersenjata lengkap yang berhasil menaklukkan, sedang “nabi” yang berjuang tanpa senjata akan memperoleh kekecewaan dan kematian.

Cara lain yang bisa membawa seseorang meraih posisi penguasa adalah melalui dukungan rakyat, hal ini lazim terjadi di Negara Republik. Cara ini diatur dalam undang-undang sehingga disebut kekuasaan konstitusional. Kesuksesan memperoleh kekuasaan ini diperoleh dengan mengandalkan KELIHAIAN menggalang dukungan masyarakat.

Penguasa bisa memperoleh dukungan dari bangsawan dan rakyat. Karena kedudukan dan kepentingan bangsawan berbeda dengan rakyat maka sebelum mencari dukungan seorang calon penguasa harus mengetahui persis karakter kedua golongan ini. Bahaya terbesar bagi penguasa yang mendapat dukungan rakyat adalah bila kekuasaan yang terbatas mulai mereka gunakan secara mutlak.

Cara lain yang bisa digunakan untuk meraih kekuasaan adalah dengan cara licik dan kejam. Dibeberapa Negara di zaman modern hal ini terjadi melalui kudeta kekuasaan. Bagaimana seseorang mampu mengambil alih kekuasaan dengan cara menjatuhkan penguasa yang sedang berkuasa.*****








IR.SOEKARNO


Tokoh kunci perjuangan Indonesia yang membacakan teks proklamasi 17 Agustus 1945 yang didampingi Muhammad Hatta. Ir.Soekarno yang lahir di Blitar 6 Juni 1901 dan wafat 21 Juni 1970. Terkenal sangat dekat dengan rakyatnya, salah satu ajarannya adalah Marhaenisme.
Ini adalah salah satu dasar pemikiran beliau yang membuatnya selalu ingin dekat dengah rakyatnya.
"...Aku ingin bercampur dengan rakyat. Itulah yang menjadi kebiasaanku. Akan tetapi aku tidak dapat lagi berbuat demikian. Sering kali aku merasakan badanku seperti lemas, napasku akan berhenti apa bila aku tidak bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku..."

Selasa, 30 Agustus 2011

MUHAMMAD HATTA

Dua putera terbaik Indonesia yang memproklamirkan kemeredakaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah Soekarno dan Muhammad Hatta. Muhammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatera, 12 Agustus 1902 dan wafat di Jakarta, 14 Maret 1980

Ini adalah salah satu ungkapan pemikiran beliau (Muhammad Hatta)
"..Krisis ini dapat diatasi dengan memberikan kepada negara  pimpinan yang dipercaya rakyat! Oleh karena krisis ini merupakan krisis demokrasi, maka perlulah hidup politik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya..."






PETUAH PANGLIMA BESAR JENDERAL SUDIRMAN


  • Tempat saya yang terbaik adalah di tengah-tengah anak buah. Saya akan meneruskan perjuangan" 
  • Bahwa segenap persoalan hendaknya dihadapi dengan iman. Jangan menjatuhkan martabatmu sendiri karena gila harta, menyalahgunakan kekuasaan (tahta) dan tidak dapat mengendalikan nafsu, maka insya Allah (Tentara Indonesia) pasti akan berhasil dengan gemilang dalam menunaikan tugasnya."
  • "...Hendaknya perjuangan kita harus didasarkan pada kesucian. Dengan demikian, perjuangan kita merupakan antara jahat dan suci. Dan kami percaya, bahwa perjuangan yang suci itu senantiasa mendapat pertolongan dari Tuhan. Apa bila perjuangan kita sudah didasarkan atas kesucian, maka perjuangan inipun akan berwujud perjuangan antara kekuatan lahir dan melawan kekuatan batin. Dan kita percaya kekuatan batinlah yang akan menang..."



MAHATMA GANDHI
Tokoh pejuang kemerdekaan India Mahatma Gandhi  yang memimpin rakyat India melawan penjajahan Inggris tidak dengan kekuatan militer ataupun pertumpahan darah. Namun dengan resistensi anti kekerasan (non cooperation, non-violent civil disobidience). India Merdeka tahun 1947

Inilah kata-kata mutiara sang tokoh pejuang kemerdekaan India tersebut : 
TUJUH DOSA SOSIAL MENURUT MAHATMA GANDHI:

  1. Politik tanpa prinsip (Politic without Principle)
  2. Kekayaan tanpa kerja (wealth without Work)
  3. Kenikmatan tanpa nurani (pleasure without Consience)
  4. Pengetahuan tanpa karakter ( Knowledge without Character)
  5. Perdagangan tanpa moralitas (Commerce without Morality)
  6. Ilmu tanpa kemanusiaan (Science without Humanity)
  7. Ibadah tanpa pengorbanan (Worship without Sacrifice)
Quote : Mahatma Gandhi in "Young India" 1925
8.        

Selasa, 23 Agustus 2011

MENCARI PRSIDEN INDONESIA PASCA SBY

Pengantar
SEJARAH mencatat seorang Kaisar Negara Macedonia bernama Alexander yang agung (356 SM-323 SM) mampu membangun salah satu kekaisaran terbesar di dunia.
Alexander yang agung adalah murid dari Aristoteles, seorang filusuf berkembangsaan Yunani (384SM-322SM), Aristoteles sendiri adalah murid dari Plato seorang filusuf Yunani yang termashur itu. Plato dan Aristoteles, keduanya bersepakat bahwa sebuah Negara ada dan  terbentuk bukan bertujuan untuk Negara itu sendiri. Negara ada untuk manusia yang menjadi warganya secara keseluruhan tanpa terkecuali.
Sebagai bentuk persekutuan hidup politis, Negara adalah bentuk yang paling tinggi sebab merupakan perkembangan terakhir persekutuan hidup manusia, karenanya Aristoteles menegaskan Negara semestinya memiliki tujuan tertinggi, paling mulia, dan terluhur dibandingkan dengan persekutuan hidup lainnya. Konsekwensinya Negara haruslah senantiasa mengupayakan kebaikan tertinggi, kebaikan semaksimal mungkin bagi warganya. Namun kenyataannya banyak Negara gagal mewujudkan tujuan tersebut, tujuan ideal yaitu memanusiakan manusia  dikarenakan pemimpinnya. Salah satunya Indonesia saat ini.  

 Identifikasi Persoalan
Para tokoh pendiri Negara ini secara tegas meletakkan cita-cita Negara Indonesia di dalam pembukaan UUD 1945 sebagai dasar berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Sebuah cita-cita yang sangat mulia dan sejalan dengan apa yang digariskan Plato dan Aristoteles ribuan tahun lampau. Namun sejak berdirinya Negara ini yang sudah 66 tahun lamanya, tujuan tersebut belum juga tercapai, yang terjadi justru semakin terasa semakin jauh. Meskipun telah terjadi pergantian presiden sebanyak enam kali, mulai dari Soekarno, Soeharto, B.J Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat sejak tahun 2004-2009 untuk priode pertama dan 2009 hingga 20014 mendatang untuk priode ke dua, tanda-tanda itu belum terlihat. Kesempatan untuk mendapatkan lapangan kerja yang memadai saja masih sangat sulit sehingga jutaan warga Negara Indonesia harus rela menggadaikan harga dirinya di negeri orang demi sesuap nasi dengan menjadi pembantu rumah tangga. Langkanya lapangan kerja memicu terjadinya peningkatan jumlah pengangguran dari tahun-ketahun sehingga angka kemiskinanpun terus meningkat. (Kalaupun kemudian terjadi penurunan, kemiskinan itu hanya menurun ke generasi berikutnya ).  
Selain kemiskinan, beberapa persoalan yang justru sebenarnya menjadi penyebab kemiskinan itu secara tidak langsung antara lain :
1.    Penyebaran penduduk yang tidak merata sehingga masih banyak faktor-faktor produksi yang tidak dikelola secara maksimal terutama yang berkaitan dengan lahan pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan kelautan yang nota bene merupakan tipikal Negara Indonesia yang agraris dan maritim.
Betapa sulit diterima akal sehat, bagaimana mungkin sebuah Negara yang agraris masih selalu mengimpor beras, jagung ataupun kedelai dari luar negeri yang menjadi kebutuhan pokok di dalam negeri. Belum lagi komuditas lainnya seperti gula, bahkan garampun masih kita impor. Sungguh suatu kenyataan yang sangat ironis. Di satu sisi, lahan potensial di dalam negeri bertebaran, tapi kenyataannya jutaan rakyat Indonesia merantau ke luar negeri hanya untuk menjadi buruh di perkebunan sawit di negera tetangga. Padahal faktanya, tanah tempat mereka menanam kelapa sawit tidak ada bedanya dengan tanah di Negara ini karena masih berada di satu pulau yang sama, yaitu Pulau Kalimantan.
Saat ini, berdasarkan hasil survey Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) tahun 2010 lalu jumlah pulau di Indonesia 13.000 buah. Yang memiliki nama baru sekitar 7.870 buah. Sempat terpublikasi bahwa jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.504 buah (2004). Namun terkait tulisan ini, bahwa dari sekian banyak jumlah pulau tersebut masih sekitar 6.000 pulau belum berpenghuni tetap.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2009 Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 231 juta jiwa sehingga saat ini diperkirakan mencapai 240 juta jiwa di mana sekitar 65 persen di antaranya berada di Pulau Jawa. Bandingkan luas Pulau Jawa ditambah Pulau Madura satu kali setengah baru sama dengan luas Kalimantan Timur yang berpenduduk hanya sekitar 3 juta jiwa.
Penyebaran penduduk ke seluruh wilayah Indonesia lewat program transmigrasi akan mengurai kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan akan berimplikasi pada pembukaan wilayah baru yang mendorong bergeraknya sektor perekonomian. Selain itu, penyebaran penduduk di setiap wilayah terutama pulau-pulau tidak berpenghuni juga akan meningkatkan ketahanan nasional.
2.    Kasus penjarahan uang Negara yang dilakukan oleh para pejabat Negara yang menjadi pilar berdirinya Negara Republik Indonesia (Eksekutif, legislative, dan Yudikatif) dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya di sektor usaha baik secara langsung ataupun tidak langsung  sebagai efek dari  lemahnya penegakan hukum masih tinggi dan masih terus terjadi, bahkan malah semakin menjadi-jadi dalam beberapa tahun terakhir.
Tidak bisa dipungkiri, korupsi telah menjadi penyebab bencana kemiskinan yang sangat mengerikan di Negara ini. Sejumlah kasus besar sejak zaman orde baru hingga saat ini terus terjadi dan tidak satupun yang tuntas. Mulai dari pembobolan Bapindo oleh Edy Tanzil senilai Rp 1,3 Triliun yang kabur dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang (1995) hingga Bank Century yang diperkirakan merugikan keuangan Negara sekitar Rp2,8 Triliun (2009). Angka ini masih simpang siur karena vesri BPK Rp5,06 Triliun dan versi Menteri Keuangan Rp 6,5 Triliun.
Entah berapa triliun uang rakyat telah dilarikan para koruptor, baik di sembunyikan di dalam negeri maupun dibawa kabur ke luar negeri. Dari catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2001 hingga saat ini, ada 45 orang pelaku kejahatan korupsi melarikan diri ke luar negeri, sekitar 36 orang merupakan pelaku kejahatan korupsi di sektor perbankan.
3.    Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung menyebabkan pemborosan uang Negara yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip penyelenggaran negara yang efisien dan efektif. Pola pemilihan kepala daerah semacam ini, selain memboroskan banyak uang Negara, juga berpotensi besar menciptakan konflik horizontal di tengah masyarakat yang miskin, masyarakat yang mudah terprovokasi untuk berbuat anarkis yang justru kerugiannya sulit untuk dihitung secara nominal.
Oleh karena itu, penting kiranya untuk mengkaji ulang apakah atas nama demokrasi dengan menerapkan pola pemilihan secara langsung dalam pemilihan kepala daerah yang dianut sekarang  sudah sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini dan apakah pemilihan kepala daerah secara langsung saat ini tidak bertentangan dengan Panca Sila sebagai dasar Negara terutama sila ke 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Sesungguhnya masih banyak persoalan yang menjadi kendala sehingga sulit untuk mewujudkan sebuah Negara yang bisa memberikan kehidupan sebagaimana yang dipikirkan oleh para pendiri Negara ini, termasuk juga apa yang digambarkan oleh Plato dan Aristoteles. Namun, paling tidak tiga poin yang disebutkan di atas bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan perbaikan nasib bangsa ke depan.
Hal lain yang bisa dan sudah seharusnya bisa dilakukan dalam rangka memperbaiki kondisi bangsa adalah melalui perbaikan persyaratan pengajuan para calon anggota legislative oleh partai politik di semua tingkatan. Di semua tingkatan sudah semestinya calon legislator itu minimal berpendidikan Strata 1 (S1), bahkan untuk tingkat DPR RI sudah semestinya para calon legislator itu sudah harus bergelar Strata 2 (S2)  mengingat tugas dan tanggung jawab mereka kelak akan sangat vital karena akan menjalankan beberapa fugsi yaitu (pertama) legislasi atau membuat undang-undang, (kedua) fungsi pengawasan, dan (ketiga) fungsi anggaran untuk skala nasional.
Dalam hal menjalankan fungsi pertama (legislasi) atau membuat undang-undang, DPR/DPRD secara bersama dengan eksekutif sesuai tingkatannya masing-masing akan membuat rancangan undang-undang tentang suatu objek, di dalam proses pembuatan rancangan dan penetapan inilah terjadi tarik ulur kepentingan. Tanpa dibekali dengan pengetahuan yang baik berdasarkan disiplin ilmu, sulit kemudian para anggota legislative itu beradu argumentasi dengan tim eksekutif yang memiliki latar belakang pengalaman bertahun-tahun dan pengetahuan yang rata-rata menyandang gelar S1, bahkan saat ini banyak telah menyandang gelar S2.
Terkait fungsi pengawasan, fungsi pengawasan hanya akan berjalan efektif manakala minimal ada keseimbangan antara kemampuan sumber daya manusia antara eksekutif dan legislatif. Bahkan jika ingin bisa berjalan lebih maksimal fungsi pengawasan ini, selayaknya para legislator memiliki kemampuan lebih baik dari para eksekutif yang menjalankan undang-undang yang telah dibuat dan disepakati bersama.
Maka kembali lagi kepada fungsi pertama tadi, jika dalam proses pembuatan undang-undang tersebut sudah lebih didominasi oleh eksekutif sebagai akibat kapasitas keilmuannya lebih baik dari anggota legislative maka dalam menjalankan fungsi pengawasanpun tidak akan bisa  banyak diharapkan untuk dapat berjalan maksimal. Karena sudah besar pasak dari pada tiang.
Begitu juga dengan fungsi penganggaran, sebagai urat nadi pembangunan, sektor anggaran adalah yang paling menentukan jalannya roda pembangunan. Dominasi eksekutif dalam menyusun anggaran pembangunan sudah pasti terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan intelektual dan kapasitas. Akhirnya, apa yang kita rasakan saat ini setelah hampir 66 tahun merdeka tidak lepas dari konspirasi politik di zaman orde baru yang berusaha melanggengkan kekuasaan dengan melakukan pelemahan-pelemahan kekuatan politik di lingkungan legislative.
Karenanya, dengan dasar semangat dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur maka sudah seharusnya partai politik yang melahirkan para legislator meletakkan dasar-dasar perekrutan calon-calon anggota legislative yang terdidik secara akademik. Jenjang pendidikan dan profesi para calon legislator yang diajukan hendaknya menjadi penilaian utama selain pengalaman organisasi tentunya.
Sebagai ilustrasi bagaimana masyarakat menilai fungsi legislative (DPR) selama ini berikut ini adalah hasil survey CIDES
uraian
Persentase
Sangat Berfungsi
1,4 %
Berfungsi
39,%
Tidak Berfungsi
43,2 %
Sangat Tidak Berfungsi
1,4 %
Tidak Berpendapat
10,8 %
Tidak Tahu
2,9 %
Tidak Menjawab
0,7 %
      Sumber : Hasil penelitian CIDES, dalam Dinamika Kedaulatan Rakyat, Dilema-Dilema Dalam Pemilu, Sistem Kepartaian dan Lembaga Perwakilan. Hal 44. (A.M Fatwa 2004)
Hasil penelitian ini memberikan satu gambaran bahwa rakyat  menganggap wakil-wakil mereka yang duduk di parlemen sebagai anggota legislative yang merupakan kepanjangan tangan dan penyambung lidah mereka atas kepentingannya tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Meraka dipilih oleh rakyat dan berbicara atas nama rakyat namun tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Seberapa banyak hasil masukan dari rakyat yang dibawa dari pertemuan dengan mereka secara langsung saat reses yang bisa diperjuangkan dan digolkan di dewan? Pada hal itu adalah murni aspirasi rakyat yang disuarakan berdasarkan kebutuhan daerah masing-masing.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang menyebabkan sehingga para legislator itu tidak bisa menjalankan fungsinya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya dengan baik sehingga mendapat penilaian tidak sedap dari masyarakat? Belum ada referensi sebagai hasil penelitian yang saya temukan terkait hal itu. Namun dalam kapasitas sebagai masyarakat pemilih dan sebagai pendapat pribadi bahwa penilaian itu timbul disebabkan beberapa hal antara lain ; 
1.    Kecakapan Berbicara
Seorang anggota parlemen haruslah memiliki kecakapan dalam berbicara. Hal ini adalah tuntutan mengingat secara harfiah kata parlemen itu berasal dari bahasa Prancis Parler yang berarti bicara. Jangan lupa trias politika (eksekutif, legislatif, dan Yudikatif) itu rancangan Montesque berkembangsaan Prancis.
Ketidak mampuan anggota parlemen/legislatif dalam menyampaikan pendapat dan tentu saja dalam menyampaikan usulan tentang kebutuhan rakyat pemilihnya akan menyebabkan kegagalan mewujudkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Hal ini kemudian akan berimplikasi pada menurunnya kepercayaan rakyat kepada para anggota legislative di saat hari pemilihan berikutnya, sehingga sulit kemudian mengharapakan tingkat partisipasi masyarakat pemilih menjadi tinggi dalam pemilihan apapun itu. Baik anggota legislative maupun kepala daerah termasuk pemilihan kepala Negara sekalipun. Mereka memilih tidak menggunakan hak pilihnya sebagai bentuk kekecewaan atas tidak terakomodirnya kepentingan mereka selama ini dalam hal pembangunan di wilayahnya.

2.    Intelektual
Cakap berbicara saja belumlah cukup bagi seorang anggota legislative, dia harus didukung oleh kemampuan intelektual. Karena berbicara juga jika tidak didukung oleh data-data ilmiah tetap akan menuai kendala karena akan berhadapan berbagai kepentingan terutama dari pihak eksekutive yang memiliki  data dan didukung oleh kemampuan berbicara selain memiliki pengalaman.
Kemampuan mengolah data dan menterjemahkannya hingga tingkat teknis pada forum terbuka untuk meyakinkan anggota lain ataupun eksekutif hanya bisa dilakukan jika memiliki kapasitas keilmuan yang baik. Jika tidak bisa melakukan itu, maka sebaik dan seakurat apapun data yang didapatkan dari lapangan melalui kegiatan reses tidak akan membuahkan hasil apa-apa untuk dikembalikan ke rakyat pemilihnya.
Oleh karena itu, meskipun ini kelihatannya sangat berat untuk diterapkan oleh partai politik karena tuntutan pengembangan partai, namun jika didukung oleh itikad yang baik oleh semua partai politik dan tentu saja pemerintah yang berkuasa sebagai tanggung jawab dalam rangka meneruskan cita-cita perjuangan para pendiri Negara ini tentu bukanlah sebuah kemustahilan untuk diterapakan. 
Bila diperhatikan tingkat pendidikan anggota Parlemen (DPR RI)  sejak pemilu 1971 hingga 1999 terjadi peningkatan, sebagaimana tersaji di table bawah ini.

Pemilu



1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
Tingkat Pendidikan
SD
SMP
SMA
SARJANA MUDA
S1
S2
S3
L
P
L
P
L
P
L
P
L
P
L
P
L
P
8
3
54
6
116
11
59
4
177
9
3



16
4
44
5
111
12
54
2
145
14
3



10

32
2
140
13
35
7
149
19
2





35
4
159
17
39
10
202
26
7
1




10

52
5
118
7
222
45
23
3
12
3


3

66
4
68
4
284
37
46
12
14



2

71
8
42

251
30
57
5
32
2
Sumber : Bagian keanggotaanDPR jo Hasil Penelitian Pelayanan Riset di bidang lgislatif yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, tahu 2002,hal.40.

3.    Moral
Inilah landasan paling mendasar yang harus dimiliki oleh seorang anggota legislator. Meskipun ini kelihatannya sangat normative  dan barometernya sangat sulit untuk ditentukan namun sangatlah penting untuk menjadi perhatian para pimpinan partai politik dalam menempatkan calon-calon legislatornya.

Sebagai salah satu instrumen dalam pembangunan Negara, partai politik memiliki peranan dan tanggung jawab yang sangat besar dan vital untuk menjaga kelangsungan Negara. Oleh karena itu, penempatan wakil-wakil partai di parlemen tidak bisa tanpa melalui seleksi di internal partai dari segi moralitas. Keberadaan mereka di kursi yang terhormat itu atas nama wakil rakyat bagaikan sebuah pisau bermata dua bagi partai itu sendiri. Bisa membesarkan partai baik secara langsung maupun tidak langsung dengan aktualisasi diri yang berintegritas. Namun, juga bisa menjadi malapetaka bagi partai itu sendiri sebagai akibat tindakan amoral mereka. Dan hal ini sudah banyak terjadi dan dihujat masyarakat habisan-habisan. Kasus-kasus korupsi berjama’ah dan kasus perselingkuhan sudah berulang kali terjadi di lingkungan para legislator.  
 
Presiden Pasca SBY
Melihat kondisi Indonesia terkini dan belajar dari sejarah panjang pergulatan terbentuknya Indonesia yang dimulai dari kerajaan-kerajaan sesungguhnya Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki kompleksitas kemampuan. Hal pertama adalah, seorang pemimpin yang mau belajar dan bisa mengambil hikmah dari sejarah pergolakan sebelum dan sesudah perang kemerdekaan. Bagaimana kerajaan-kerajaan di nusantara dengan suka rela menyerahkan kedaulatan mereka ke tangan Republik Indonesia tanpa melalui peperangan untuk penaklukan. Bagaimana pemberontakan-pemberontakan yang terjadi kemudian pasca kemerdekaan seperti PRRI/PERMESTA, DI/TII di era tahun 50-an hingga awal-awal 60-an karena ketidakpuasan daerah terhadap pemerataan pembangunan oleh pemerintah pusat.
Seorang presiden Indonesia ke depan harus memiliki kemampuan keilmuan yang bisa membaca potensi dari dalam negeri sampai peluang yang bisa dibuka di luar negeri dalam rangka pembangunan sosial ekonomi di dalam negeri. Seorang pemimpin Indonesia ke depan harus bisa menjaga dan menghemat sumber daya alam Indonesia dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Penguasaan terhadap sumber-sumber vital perekonomian dalam negeri seperti sumber energi dan telekomunikasi dalam rangka stabilitas dan keamanan dalam negeri.
Seorang pemimpin Indonesia harus memiliki kemampuan diplomasi dengan negara-negara lain di dunia sehingga sedapat mungkin menempatkan Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang diperhitungkan dalam percaturan politik internasional. Potensi sumber daya manusia dan wilayah Indonesia yang strategis adalah modal dasar untuk meraih posisi itu.  Sejarah mencatat bagaimana kemampuan diplomasi presiden Seokarno di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berani keluar dari organisasi dunia itu di tengah berkecamuknya perang dingin antara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang dikomandani Amerika Serikat dengan Pakta Warsawa yang dikomandani Uni Sovyet. Sejarah juga mencatat bagaimana kemampuan diplomasi Seokarno yang bisa mendirikan gerakan Negara-negara non blok bersama India, Mesir, Yugoslavia, Indonesia yang kemudian diikuti oleh ratusan Negara.
Pasca pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seorang presiden Indonesia bukan hanya perperan sebagai kepala pemerintahan, bukan hanya sebagai top menajemen eksekutif, dia harus bisa memposisikan dirinya sebagai pemimpin bagi sekitar 240 juta jiwa rakyat Indonesia. Oleh karena itu, seorang pemimpin pasca SBY haruslah memiliki sifat-sifat  kekeluargaan, Panca Sila sebagai dasar Negara jika diperas sarinya dari lima sila itu, maka hanya akan tinggal tiga sila, Ketuhanan, gotong royong, permusyawaratan dan jika tiga sila itu diperas lagi maka inti sarainya hanya akan tinggal satu kata yaitu, kekeluargaan.
Pemimpin yang menempatkan rakyatnya sebagai satu keluarga besar dengan cara pandang keluarga dan menempatkan mereka dalam bingkai kekeluargaan tidak akan berbuat dholim kepada mereka. Yang ada justru sikap mengayomi, welas asih, dan melindungi.
Seorang presiden Indonesia ke depan harus memiliki sifat berani dan tegas, dalam bertindak atas dasar kepentingan rakyat banyak, atas dasar kepentingan keluarga besarnya, jujur, menempatkan kepentingan rakyat banyak di atas kepentingan pribadi, di atas kepentingan keluarga kecilnya, kelompok, golongan, ataupun partainya.
Seorang presiden Indonesia ke depan harus menjunjung tinggi hukum.  Menempatkan hukum sebagai panglima tertinggi dalam kepemimpinannya dan tidak menginterpensi proses hukum. (bersambung)